Setelah
lulus SD. Marsono menyusul ibunya ke yogya. Tapi, bayangkan bisa
melanjutkan sekolah dengan mulus, kandas. Kelas II SMP dia drop out.
Usaha orangtuanya, jual material bangunan, kembang kempis. Dia harus
keluar sekolah. Lalu terpanggil ikut kerja membantu ibunya.
Bermodal
ketekunan dan kejujuran Marsono ikut membantu usaha orangtuanya. Dia
cermati, mengapa usaha orangtuanya tidak berkembang. Sampai akhirnya dia
tahu dimana letak kesalahannya.
Sebab
utamnya pada pengelolaan keuangan. Seharusnya uang hasil usaha
digunakan untuk mengembangkan dagangan agar lebih besar. Tidak lantas
digunakan untuk usaha yang lain.
Usia
18 tahun, Marsono berani menikahi Imukodah. Dari perkawinannya, kini
dikaruniai tiga orang anak. Anak pertamanya, sarjana farmasi yang kini
punya usaha apotek di Dlingo Bantul. Sulungnya itu telah memberinya
cucu.
Anak
kedua kuliah di Fakultas Hukum UII. Si bungsu masih di sekolah
lanjutan. Kepada tiga anaknya dikenalkan bagaimana jerih payahnya
mencari uang. Ada semacam kewajiban sepulang sekolah harus ikut membantu
menjaga toko.
“Saya
memulai usaha dengan modal Rp.35 ribu hanya cukup untuk sewa tempat,”
ungkap Marsono yang merasa beruntung didampingi oleh istrinya, Imukodah
dalam melakoni lara-lapa.
Saat
itu, tahun 1983, situasi sangat sulit. Langkah awal yang dilakukan,
membuka usaha jual material. Awal mula usaha, hanya ada pasir satu cold
dan batu bata titipan sebanyak seribu buah untuk menambah modal. Marsono
menyewa becak yang kemudian digunakan untuk mengangkut sampah.
Dia
jadi tukang buang sampah dari beberapa juragan kaya di seputar
Karangkajen dan Prawirotaman. Ketika ada sampah bongkaran rumah, batu
bata yang masih bisa dimanfaatkan, dia kumpulkan. Lantas ditumbuknya
menjadi semen merah. Lalu dijual.
Imukodah berperan sebagai pengayak,
menyaring remukan batu bata lembut (disebut semen merah). Itu pekerjaan
berat dan butuh ketelatenan. Jarang ada perempuan muda yang mau
menjalani pekerjaan itu.
Permintaan
bahan bangunan sangat banyak dan lancar. Di antar sendiri semua pesanan
dengan becak sewaan. Melayani konsumen dengan ramah, tepat waktu dan
jujur. Itulah yang menjadi prinsipnya berdagang. Pesanan material
semakin besar. Di tak sanggup lagi menanganinya sendiri.
Kemudian
sewa gerobak sapi sekaligus dengan kusirnya. Perlahan dan pasti,
usahanya berkembang. Aliran rezeki pun semakin lancar. Dan, untuk
mendukung perkembangan usaha, tahun 1984, Marsono membeli colt bekas
keluaran 1974 seharga Rp. 275 ribu.
“Prinsip
memanfaatkan uang dengan benar. Maksudnya uang dari hasil usaha
digunakan untuk menambah modal usaha. Untuk makan sehari-hari saya
melakukan kerja sampingan buang sampah itu”, kenangnya.
Berkah
dari ketekunan akhirnya mengucur bagaikan curahan hujan yang membasahi
bumi. Banyak proyek yang mengambil bahan material dari pangkalannya.
Modal
pun samakin kuat. Lantas, dia mulai membeli tanah yang dipakainya untuk
tempat usaha secara bertahap. Sampai akhirnya tanah seluas 6 ribu meter
persegi tuntas terbeli. Di tempat itulah kini menjadi lokasi bisnis
Marsono bernama UD Ika Sari.
Ada
dua bangunan yang besar dan megah di lokasi itu. Sebelah barat bangunan
lantai dua dijadikan tempat tinggalnya. Sebelah timur bangunan yang
luas, bagian depan dijadikan tOko, bengkel las dan pertukangan kayu.
Pun di sisa lahan yang begitu luas, tumpukan material pasir cukup tinggi menggunung. Bongkahan batu kali pun demikian.
Selain
itu, di pekarangan belakangan digunakan untuk pabrik batako, paving dan
loster. Untuk mengantar pesanan material ke konsumen sudah ada 10
armada colt dan 2 armada truk miliknya yang siap melayani pembeli.
Marsono
benar-benar fokus pada usahanya. Segala macam bahan yang berkaitan
dengan bangunan semua lengkap tersedia di tokonya. Kegiatan lainnya
(las, pertukangan kayu dan pembuatan batako, paving, loster) semata
untuk mendukung usaha barunya di dunia properti.
Sudah
puluhan unit rumbah dibangunnya dengan harga lebih dari Rp. 300 juta
per unit. Dia pun mendulang penghasilan fantastis dari usahanya itu.
Omzet perharinya kisaran Rp. 20 juta.
Meski
demikian, semua itu tidak lantas membuat Marsono takabur. Dia tetap
sebagaimana adanya. Sifatnya yang sederhana, dan tidak neko-neko. Dengan kelebihan harta yang dimilikinya dia pun tidak melupakan perjuangannya.
Sehingga
secara tertib dia selalu menyisihkan keuntungan untuk sedekah, zakat
dan membantu sesama yang membutuhkan pertolongan. Ini kedermawanan yang
ketika kecil dulu, tak pernah terbayangkan.
“Semua
ini wajib disyukuri. Bisa membantu banyak orang, setidaknya saya
memiliki manfaat buat orang lain. Terlebih bagi keluarga,” tukasnya
mengakhiri kisahnya pada Kedaulatan Rakyat.
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.