Strategi Jitu Guna Menghadapi Impor Daging Sapi |
Harga sapi seringkali menghadapi fluktuasi nilai jual di pasar. Ini merupakan suatu dilema, namun juga dikatakan sebagai suatu misteri. Karena setelah itu biasanya harga daging sapi semakin tak dapat dikendalikan.
Penurunan daya beli masyarakat merupakan implikasi langsung. Ada pula faktor lain yang kerap menjadikan keadaan semakin rumit. Yakni kemampuan perusahaan yang bergerak sebagai importir daging sapi dari luar negeri yang kian hari semakin bertaring.
Penurunan daya beli masyarakat merupakan implikasi langsung. Ada pula faktor lain yang kerap menjadikan keadaan semakin rumit. Yakni kemampuan perusahaan yang bergerak sebagai importir daging sapi dari luar negeri yang kian hari semakin bertaring.
Jika
banyak peternak frustasi dan menghentikan usahanya, yang diuntungkan
importir dan peternak luar negeri. Kelak jika usaha peternakan sapi
dalam negeri hancur, bukan tak mungkin harga sapi-sapi impor melambung.
Kondisi
tersebut harus disiasati. Seperti diungkap oleh Evi Irawati. Manajer
pemasaran CV Restu Bumi Pleret, Bantul itu mengaku, peternak harus
melakukan terobosan agar terhindar dari kerugian.
Terobosan
yang dilakukan itu adalah dengan melakukan bisnis produk derivate.
Untuk mengatasi anjloknya harga sapi, mereka memotong, mengolah daging
menjadi makanan kemasan serta memasarkan produk tersebut langsung ke
konsumen.
Strategi
tersebut jitu. Di saat para peternak sapi mengalami keterpurukan sejak
tahun 2010 lalu, justru Restu Bumi menambah kandang dengan kapasitas 80
ekor sapi. Sehingga saat ini mereka mampu memelihara 250 ekor sapi per
siklus, 3 – 4 bulan.
Semua potensi sapi diolah untuk meningkatkan nilai ekonomi, Kulit, diubuat menjadi rambak, Jerohan,
khususnya paru, diolah menjadi keripik. Daging kelas 2, dibuat menjadi
bakso dan sosis. Daging kelas 1, dibuat menjadi abon. “Membeli daging
Rp. 50 ribu per kilo itu berat. Tapi, bila diolah jadi bakso dan sosis,
terasa murah. Bakso pun dapat dimasak sendiri di rumah. Jadi, bisa lebih
murah dibandingkan dengan jajan di warung,” urai Evi. Keterjangkauan
harga ini akhirnya juga berujung kepada kenaikan konsumsi dan
pemotongan. Tentang adanya daging kelas 1 dan 2, menurut Evi sebenarnya
sama-sama baik. Kelas hanya menunjukkan kesukaan.
Contoh daging kelas 1 adalah
daging paha sedangkan daging kelas 2 adalah daging Iga. Harganya
terpaut sekitar Rp. 20 ribu/kg. Pada saat Idul Fitri dan bulan-bulan
hajatan maka daging kualitas 1 akan laris, sehingga daging kelas 2
banyak yang tersisa.
Kebalikannya,
di saat bulan sepi hajatan seperti bulan Muharam, daging kelas 1 justru
banyak yang tersisa. Pada dari 100 kg daging hasil pemotongan, 10 – 15
kg di antaranya adalah daging kelas 2. Tentu, daripada harganya
dibanting karena sepi maka lebih baik diolah. Daging kelas 2 dijadikan
produk semacam bakso dan sosis.
Sumber Penulisan:
http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=10&aid=2587
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=67986&val=299
Sumber Penulisan:
http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=10&aid=2587
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=67986&val=299
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.