Kiat menggandakan Untung dalam Bertani Cabai |
Lahan
pesisir dulu dilirik orang. Dianggap tak menghasilkan. Tapi ternyata
sangat bagus untuk dimanfaatkan sebagai area tanaman cabai. Bahkan
produksi cabai di lahap berpasir tersebut, cukup fantastis.
Sukarman
(55) warga desa Bugel II, Panjatan, Kulon Progo menjadi pemuka yang mampu
memanfaatkan lahan pasir Pantai Bugel untuk budidaya cabai. Jerih
payahnya itu berhasil dan kini menjadikan Bugel sebagai kawasan sentra
penghasil cabai. Hasil panen cabai dari lahan pasir justru lebih bagus.
Warnanya mengkilat, lebih tahan hama dan bia dipetik berkali-kali. Hasil
panen lebih banyak dibanding cabai yang ditanam di sawah atau kebun.
“Setiap
musim panen, warga desa Bugel II bisa menghasilkan sekitar 60 – 80 ton
cabai per hari dari luas lahan pasir 900 hektar. Dikelola petani lahan
pasir di desa yang terdiri dari 30 dusun dan 4 kecamatan,” kata Sukarman
Lahan
pasir di tepian Pantai Bugel, Kulonprogo, sekarang sudah menjadi
penghasil cabai yang tekrenal. Setiap masa panen, desa Bugel selalu
ramai oleh para pedagang dari berbagai daerah. Para petani tak perlu
repot menjual hasil panen cabainya ke tempat jauh. Cukup mengumpulkan
hasil panennya itu di pasar lelang Aossiasi Pasar Tani (Aspartan) di
desa masing-masing.
“Pada
pedagang yang dating itulah nantinya yang mendistribusikan cabai dari
desa Bugel ke berbagai kota besar seperti Semarang, Jakarta, Batam, Riau
dan banyak lagi,” tambah Sukarman.
Kesuksesan
para petani cabai lahan pasir di desa Bugel, sekiranya menjadi kabar
gembira di tengah banyak kisah para petani lain yang senantiasa
mengalami kerugian.
Faktanya,
petani cabai dea Bugel hampir tak pernah mengalami kerugian. Padahal,
kesulitan menanam cabe di lahan sawah atau kebun pada umumnya juga harus
dihadapi oleh para petani cabai lahan pasir. Belum lagi tantangan dari
aspek bisnis, di mana harga cabai bisa mendadak turun drastis bak
pesawat kehilangan sayap.
“Semua
rintangan itu memang harus dihadapi. Misalnya, curah hujan tinggi dan
serangan hama. Juga perubahan harga yang bisa sangat fluktuatif. Itu
semua sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari petani cabe.
Tetapi, di tengah rintangan itu sebenarnya ada berkah yang lebih
menguntungkan daripada sekadang menjual hasil panen cabai,” beber
Sukarman.
Peluang Bibit
Sukarman
bukanlah insinyur pertanian, ia bahkan gagal menyelesaikan kuliah di
Yogyakarta karena 3 kali tak lolos ujian Negara. Tahun 1983, Sukarman
harus rela meninggalkan bangku kuliah tanpa ijazah.
Tiga
kali taklulus ujian Negara itu sudah menghabiskan banyak uang.
Sementara, kelima adiknya masih membutuhkan biaya sekolah. “Saya harus
mengalah. Biar adik-adik saya juga bila melanjutkan sekolah,” katanya.
Usai
itu, Sukarman berusaha mencari kerja di kota. Dua tahun lamanya tak
mendapatkan pekerjaan. Alhasil, Sukarman pulang ked ea. Tahun 1985,
Sukarman baru terbuka inspirasinya ketika melihat sebatang pohon cabai
tumbuh di lading pasir. Tidak dirawat, tetapi bisa berbuah. Sukarman
tergerak untuk membudidayakan cabai di lahan pasir itu.
“Waktu itu saya berpikir. Kalau dirawat dengan baik pasti pohon cabe itu bisa tumbuh subur di lahan pasir,” kenangnya.
Bermula
dari ide sepele, dan pada tahun itu juga, dia memulai mencoba menggarap
usahanya. Dengan bermodalkan lahan seluas 300 meter persegi, Sukarman
berhasil membuktikan keyakinannya. “Saya masih ingat, wakti itu panen
sebanyak 17 kilogram cabai. Hasil itu sudah banyak sekali, mengingat
dulu belum ada orang menanam cabai di lahan pasir sebagus itu hasilnya.
Harga cabai wakti itu juga masih Rp. 300,” ungkapnya.
Berawal
dari kesuksesan itu, Sukarman kian melebarkan lahan pasirnya. Seiring
itu, warga desa lainnya ikut-ikutan. Lalu ia memimpinnya dan
menggerakkan warga untuk membuat sumur guna menyiram lahan cabai. Dia
menjelaskan, pohon cabai bisa tumbuh subur dan membuahkan hasil yang
baik karena diberi pupuk kandang.
Kini, Sukarman sudah sukses. Penghasilannya jutaan rupiah per bulan. Baik di musim harga cabai tinggi maupun jeblok.
Pasalnya, Sukarman menerapkan strategi musim. “Kalau harga cabe sedang
baik, pohon cabe langsung dipupuk sehabis dipetik. Pohon cabe di lahan
pasir bisa dipetik sampai 30-an kali, dengan jeda waktu petik 5 hari.
Tetapi kalau harga cabai sedang anjlok, lebih baik poohon cabai diganti
dengan yang baru. Sementara menunggu harga stabil, pohon cabai yang baru
sudah berbuah. Hasilnya optimal dan harganya maksimal,” jelasnya.
Ditambahkan, selama masa harga jual cabai anjlok,
dirinya memanfaatkan bisnis bibit cabai. Menurutnya, hasil dari
penjualan bibit cabai justru lebih besar ketimbang menjual cabai.
“Biasanya, penjualan bibit melonjak ketika curah hujan tinggi. Sebab,
banyak petani yang gagal membuat bibit cabai sendiri. Itulah mengapa,
curah hujan tinggi dan harga cabai anjlok itu bukan masalah,” tegasnya.
Sukarman
mengaku, belum lama menjual bibit pohon cabai seluas 3.000 meter
persegi yang terbagi dalam 300 bedeng. Satu bedeng bibit pohon cabe
dijual sebesar Rp. 100 ribu. Dengan harga setinggi itu, Sukarman mengaku
meraup untung besar. Pasalnya, untuk membuat bibitnya tidak sulit.
Hanya tinggal memilih biji cabai yang bagus, dikeringkan lalu disemai.
Masa semai cabai selama 1 bulan. Setelah ditanam di lahan, 75 hari
kemudian mulai bisa dipanen. Petikan pertama memang belum begitu banyak.
Baru pada petikan kesepuluh sampai puncaknya ke dua belas, hasilnya
baru melimpah. “Kalau harga cabai sedang bagus usai dipetik pohon cabe
dipupuk. Lima hari kemudian bisa dipetik lagi. Begitu seterusnya sampai
20 – 30 kali petik. Itu kalau harga sedang bagus, sehingga tidak rugi
pupuk”, pungkasnya.
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.