Mudah ditemukan.
Buah pisang sangat mudah ditemui. Karena mudah ditemui, pisang lalu dianggap tak cukup menjanjikan untuk diolah menjadi ladang bisnis. Apalagi buah pisang sangat mudah membusuk dan harganya bisa terjun bebas. Maka, tak banyak orang yang mau menekuni bisnis pisang.
Anggapan itu jelas keliru. Pasalnya,selalu ada cara untuk meningkatkan nilai jual produk. Hanya dibutuhkan inovasi dan kreativitas, sehingga sumber daya alam yang melimpah itu tetap bia menambah penghasilan. Bukankah eman-eman, kalau pohon pisang beragam jenis yang bisa tumbuh subur di seantero negeri ini dibiarkan terlantar?
Siswoharjo (60), warga desa Poncosari Srandakan Bantul Yogyakarta mengatakan, dirinya kewalahan memenuhi pesanan keripik pisang dari sejumlah kampus di Yogyakarta. Minimnya tenaga kerja membuat dirinya tak mampu kalau harus memproduksi keripik pisang dalam jumlah besar. Menurutnya, minimnya tenaga kerja itu karena tidak setiap orang bisa membuatnya dengan renyah.
“Kelihatannya memang sepele. Tapi, kalau tidak tahu caranya, keripik pisang bisa keras dan warnanya jadi hitam tidak menarik,” katanya.
Pengakuan Siswoharjo yang sejak tahun 2008 menekuni bisnis keripik pisang itu jelas menunjukkan peluang bisnis olahan pisang masih sangat terbuka dan menggiurkan. Bayangkan, kendalanya hanya tenaga kerja. Padahal, banyak ibu rumah tangga dan remaja putra-putri di desa Cuma menganggur.
Siswoharjo mulai menekuni bisnis keripik pisang, ketika dirinya terpilih sebagai Ketua UPKG di desanya pada tahun 2005 – 2009. Saat itu, Siswoharjo melihat kondisi tanah di desanya sangat cocok untuk pembudidayaan pisang. Maka, Siswoharjo menggalakkan warganya untuk menanam pisang. Untuk meningkatkan nilai jual pisang. Siswoharjo lalu mengadakan pelatihan membuat keripik pisang.
“Saya mendatangkan seorang guru atau pelatih untuk mengajari warga dalam membuat keripik. Hasilnya,b anyak warga yang tertarik dan memproduksi keripik pisang,” ujarnya.
Pelatihan yang diselenggarakan di rumah Siswoharjo itu membuahkan hasil. Banyak warga setempat kemudian menekuni bisnis keripik pisang. Saking banyaknya warga yang membuat keripik pisang, desa Poncosari sempat dikenal sebagai salah satu sentra produsen keripik pisang.
Saat itu, lanjut Siswoharjo, keripik isang buatan warga desa Poncosari dipasarkan di sejumlah kantin-kantin perguruan tinggi di Yogyakarta, seperti UGM dan UMY.
Ternyata, keripik pisang sangat digemari oleh para mahasiswa dan dosen. Sebab, keripik pisang kaya vitamin dan kaya serat.
“Waktu itu, banyak dosen dari UMY datang ke rumah saya untuk melihat langsung proses produksinya. Selama berhari-hari para dosen itu mengadakan riset di rumah saya. Mulai dari aspek bisnis sampai proses pengolahan dan kandungan vitaminnya,” kata Siswoharjo.
Antusiasisme pasar keripik pisang yang sangat bagus itu, dimanfaatkan Siswoharjo untuk menekuninya. Apa lagi, dalam perkembangannya kemudian banyak para bakul atau pedagang pasar juga berdatangan ingin kulakan. Alhasil, Siswoharjo kewalahan memenuhi permintaan.
Seiring dengan perjalanan waktu, Siswoharjo membiarkan peluang bisnis ini menguap begitu saja. Pasalnya, warga yang bersedia menggarap keripik pisang di desanya kini sudah mulai tua. Sedangkan, generasi muda sangat jarang sekali mau belajar membuatnya. “Padahal, kalau sudah tahu caranya sangat mudah sekali,” katanya.
Kini, karena usia yang sudah tua dan tenaga banyak berkurang, Siswoharjo membatasi diri produksi keripiknya, hanya 10 kilogram sehari. Bersama istrinya, setiap hari keripik pisang itu dibuat hanya untuk memenuhi pesanan para pedagang di Pasar Bantul. “Sebenarnya, sangat disayangkan pasaran keripik pisang di kota terpaksa saya lepas,” ujarnya.
Siswoharjo menjelaskan, untuk membuat 10 kilogram keripik pisang itu dibutuhkan sekitar 20 sisir pisang jenis raja Bandung ukuran sedang Rp. 40 ribu. Minyak goreng 5 liter senilai Rp.65 ribu dan gula pasir 1,5 kg Rp. 18 ribu. Ditambah bumbu-bumbu lain senilai kurang lebih dari Rp. 10 ribu.
Kayu bakar Rp. 5 ribu. Total biaya produksi Rp. 138 ribu. Sedangkan, harga jual keripik pisang perkilogram Rp. 20 ribu. Dikali 10 kilogram menjadi Rp. 200 ribu. Keuntungannya Rp. 62 ribu.
Siswoharjo mengatakan, keuntungan itu masih bisa bertambah kalau membuatnya lebih banyak lagi. Sedangkan, harga per kilogram keripik pisang itu juga tergantung pada jenis pisang yang digunakan dan rasanya. Menurutnya, pisang terbaik untuk dibuat keripik adalah dari jenis pisang kapok, koja dan raja.
Ada pun cara membuatnya cukup mudah. Pisang dipilih yang sudah tua, tetapi belum masak. Dikupas dan langsung direndam ke dalam air untuk menghilangkan getahnya dan agar tidak hitam warnanya. Setelah itu diiris tipis-tipis dan langsung digoreng. Setelah kering, diangkat.
Untuk membuat keripik manis, keripik yang sudah digoreng itu kemudian diberi larutan bumbu manis dan digoreng lagi. Sedangkan rasa gurih, hanya membutuhkan proses penggorengan satu kali.
Buah pisang sangat mudah ditemui. Karena mudah ditemui, pisang lalu dianggap tak cukup menjanjikan untuk diolah menjadi ladang bisnis. Apalagi buah pisang sangat mudah membusuk dan harganya bisa terjun bebas. Maka, tak banyak orang yang mau menekuni bisnis pisang.
Anggapan itu jelas keliru. Pasalnya,selalu ada cara untuk meningkatkan nilai jual produk. Hanya dibutuhkan inovasi dan kreativitas, sehingga sumber daya alam yang melimpah itu tetap bia menambah penghasilan. Bukankah eman-eman, kalau pohon pisang beragam jenis yang bisa tumbuh subur di seantero negeri ini dibiarkan terlantar?
Siswoharjo (60), warga desa Poncosari Srandakan Bantul Yogyakarta mengatakan, dirinya kewalahan memenuhi pesanan keripik pisang dari sejumlah kampus di Yogyakarta. Minimnya tenaga kerja membuat dirinya tak mampu kalau harus memproduksi keripik pisang dalam jumlah besar. Menurutnya, minimnya tenaga kerja itu karena tidak setiap orang bisa membuatnya dengan renyah.
“Kelihatannya memang sepele. Tapi, kalau tidak tahu caranya, keripik pisang bisa keras dan warnanya jadi hitam tidak menarik,” katanya.
Pengakuan Siswoharjo yang sejak tahun 2008 menekuni bisnis keripik pisang itu jelas menunjukkan peluang bisnis olahan pisang masih sangat terbuka dan menggiurkan. Bayangkan, kendalanya hanya tenaga kerja. Padahal, banyak ibu rumah tangga dan remaja putra-putri di desa Cuma menganggur.
Siswoharjo mulai menekuni bisnis keripik pisang, ketika dirinya terpilih sebagai Ketua UPKG di desanya pada tahun 2005 – 2009. Saat itu, Siswoharjo melihat kondisi tanah di desanya sangat cocok untuk pembudidayaan pisang. Maka, Siswoharjo menggalakkan warganya untuk menanam pisang. Untuk meningkatkan nilai jual pisang. Siswoharjo lalu mengadakan pelatihan membuat keripik pisang.
“Saya mendatangkan seorang guru atau pelatih untuk mengajari warga dalam membuat keripik. Hasilnya,b anyak warga yang tertarik dan memproduksi keripik pisang,” ujarnya.
Pelatihan yang diselenggarakan di rumah Siswoharjo itu membuahkan hasil. Banyak warga setempat kemudian menekuni bisnis keripik pisang. Saking banyaknya warga yang membuat keripik pisang, desa Poncosari sempat dikenal sebagai salah satu sentra produsen keripik pisang.
Saat itu, lanjut Siswoharjo, keripik isang buatan warga desa Poncosari dipasarkan di sejumlah kantin-kantin perguruan tinggi di Yogyakarta, seperti UGM dan UMY.
Ternyata, keripik pisang sangat digemari oleh para mahasiswa dan dosen. Sebab, keripik pisang kaya vitamin dan kaya serat.
“Waktu itu, banyak dosen dari UMY datang ke rumah saya untuk melihat langsung proses produksinya. Selama berhari-hari para dosen itu mengadakan riset di rumah saya. Mulai dari aspek bisnis sampai proses pengolahan dan kandungan vitaminnya,” kata Siswoharjo.
Antusiasisme pasar keripik pisang yang sangat bagus itu, dimanfaatkan Siswoharjo untuk menekuninya. Apa lagi, dalam perkembangannya kemudian banyak para bakul atau pedagang pasar juga berdatangan ingin kulakan. Alhasil, Siswoharjo kewalahan memenuhi permintaan.
Seiring dengan perjalanan waktu, Siswoharjo membiarkan peluang bisnis ini menguap begitu saja. Pasalnya, warga yang bersedia menggarap keripik pisang di desanya kini sudah mulai tua. Sedangkan, generasi muda sangat jarang sekali mau belajar membuatnya. “Padahal, kalau sudah tahu caranya sangat mudah sekali,” katanya.
Kini, karena usia yang sudah tua dan tenaga banyak berkurang, Siswoharjo membatasi diri produksi keripiknya, hanya 10 kilogram sehari. Bersama istrinya, setiap hari keripik pisang itu dibuat hanya untuk memenuhi pesanan para pedagang di Pasar Bantul. “Sebenarnya, sangat disayangkan pasaran keripik pisang di kota terpaksa saya lepas,” ujarnya.
Siswoharjo menjelaskan, untuk membuat 10 kilogram keripik pisang itu dibutuhkan sekitar 20 sisir pisang jenis raja Bandung ukuran sedang Rp. 40 ribu. Minyak goreng 5 liter senilai Rp.65 ribu dan gula pasir 1,5 kg Rp. 18 ribu. Ditambah bumbu-bumbu lain senilai kurang lebih dari Rp. 10 ribu.
Kayu bakar Rp. 5 ribu. Total biaya produksi Rp. 138 ribu. Sedangkan, harga jual keripik pisang perkilogram Rp. 20 ribu. Dikali 10 kilogram menjadi Rp. 200 ribu. Keuntungannya Rp. 62 ribu.
Siswoharjo mengatakan, keuntungan itu masih bisa bertambah kalau membuatnya lebih banyak lagi. Sedangkan, harga per kilogram keripik pisang itu juga tergantung pada jenis pisang yang digunakan dan rasanya. Menurutnya, pisang terbaik untuk dibuat keripik adalah dari jenis pisang kapok, koja dan raja.
Ada pun cara membuatnya cukup mudah. Pisang dipilih yang sudah tua, tetapi belum masak. Dikupas dan langsung direndam ke dalam air untuk menghilangkan getahnya dan agar tidak hitam warnanya. Setelah itu diiris tipis-tipis dan langsung digoreng. Setelah kering, diangkat.
Untuk membuat keripik manis, keripik yang sudah digoreng itu kemudian diberi larutan bumbu manis dan digoreng lagi. Sedangkan rasa gurih, hanya membutuhkan proses penggorengan satu kali.
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.