Biasa kerja.
Matahari pagi terlihat sangat cerah. Mbah Karto Pawiro (90) memulai aktivitas hariannya dengan mengeluarkan lembaran-lembaran ijuk. Lalu ditumpuk di atas bale-bale kecil. Ijuk, serabut berwarna hitam seperti rambut, tumbuh di pangkal pelepah pokok pohon aren atau enau yang bahasa latinnya arenga pinnate. Dengan duduk selonjor di atas bale-bale, tangan terampil Mbah Karto Pawiro yang punya nama kecil Muserat memintal lembaran ijuk menjadi tali.
Proses pemintalannya sangat sederhana. Memilih-milih lembaran ijuk dengan menggunakan sekerat bilahan bambu. Tapi biarpun begitu, tetap membutuhkan keterampilan khusus yang tidak setiap orang mampu melakukannya.
Pekerjaan langka tersebut membutuhkan kesabaran. Mbah Karto sudah melakoninya sejak berusia 15 tahun. Ketika itu dia hanya membantu orangtuanya. Setelah menikahi Partiah di tahun 1951, ketika itu dia berumur 27 tahun, lantas hidup mandiri dengan menjadi pengrajin tali ijuk sampai sekarang.
“Kulo mboten sekolah. Dados sagete naming kados niki (saya tidak sekolah. Jadi bisanya bekerja seperti ini),” pengakuan Mbah Karto Pawiro yang semasa mudanya pernah ikut memanggul senjata naik turun gunung selama 10 hari gerilya di sekitar Gunung Suh, Godean. Dia tidak meneruskan menjadi tentara ketika itu, karena orang tua tidak mengizinkan. Orangtuanya takut kehilangan dirinya, selain itu dia juga tidak sekolah.
“Rumiyen njih nate manggen ten Suryawijayan. Nang omah kula dipun obong Landa. Amargi kula gerilya. (Dulu saya pernah tinggal di Suryawijayan. Tapi rumah saya dibakar Belanda, karena saya seorang gerilyawan),” ceritanya sambil memainkan tangan memilin ijuk. Buah perkawinannya dengan Partiah memiliki 5 anak, 2 laki-laki dan 3 perempuan yang kemudian memberinya 13 cucu dan 2 orang buyut. Semua anaknya sudah hidup mandiri. Anak pertamanya menjadi kepala sekolah di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ada juga yang jadi pengusaha penggilingan padi.
Meskipun usianya sudah uzur, Mbah Karto Prawiro masih tampak sehat dan cekatan dalam memintal ijuk. Seharinya dia bisa menyelesaikan 15 sampai 20 ikat tali yang jika dijual perikatnya memiliki kisaran Rp. 3.000.
Tali ijuk buatan Mbah Karto Pawiro banyak diminati. Pelanggan biasanya datang sendiri dari Wates, Klaten, dan Purworejo. Ciri khas tali ijuk buatan kakek yang tinggal di Bendosari Sumbersari Moyudan Sleman ini memiliki pilihan yang halus dan kuat, sehingga bila digunakan untuk ngragum (mengikat) tidak mudah pudar dan awet. Dulu selagi tenaganya masih uat, dia menjual tali ijuk di Pasar Semampir Sedayu, sekarang hanya di rumah.
Soal bahan baku, sekarang sulit mencari. Kalau pun ada, harganya mahal, Harga per lembar serat ijuk di pohon Rp. 3.000. Setelah di pasar menjadi Rp. 7.000/kg. Pasca gempa, karena banyak orang membutuhkan, harganya terus meroket. Apalagi sekarang banyak orang asing yang membuat rumah dengan menggunakan ijuk sebagai atapnya, harganya menjadi semakin mahal.
Soal bahan baku, sekarang sulit mencari. Kalau pun ada, harganya mahal, Harga per lembar serat ijuk di pohon Rp. 3.000. Setelah di pasar menjadi Rp. 7.000/kg. Pasca gempa, karena banyak orang membutuhkan, harganya terus meroket. Apalagi sekarang banyak orang asing yang membuat rumah dengan menggunakan ijuk sebagai atapnya, harganya menjadi semakin mahal.
Dulu sewaktu masih muda, dia mencari bahan baku ijuk sampai Ambarawa, Jambu, Temanggung, Wonosobo, Parakan dan Gedono hanya dengan menggunakan sepeda. Berangkat sekitar pukul 04.00 dengan mengambil jalan pintas menuju Tempel. Jika hujan, jalannya becek dan licin. Setelah menyeberangi sungai Krasak sampai Muntilan, dia istirahat. Lalu setelah itu melanjutkan perjalanan menuju Secang. Di sini pun istirahat sebentar, untuk selanjutnya meneruskan laku sesuai dengan daerah mana yang akan dituju. Proses hunting ijuk bisa berhari-hari tinggal di dalam hutan. Mengambil ijuk dari pokoknya, lantas mengumpulkannya. Setelah dirasa cukup banyak baru pulang.
Bisa tahu kalau daerah-daerah itu banyak pohon aren, diperoleh ketika ikut gerilya keluar masuk hutan semasa perang kemerdekaan 1946. “Ten alas niku njih tumbas, mas. Mboten kok mung mendhet (mengambil ijuk di dalam hutan itu membeli. Bukan Cuma hanya ambil),” tuturnya.
Menurut dia, hutan pada saat itu dikuasi oleh kelompok-kelompok orang. Setiap yang akan mengambil apa saja dari hutan, harus membayar kepada kelompok itu demi keamanan. Mbah Karto mengaku, tidak berani sembarangan mengambil hasil hutan. Ada yang lebih gawat lagi, berani coba-coba mencuri bakalan berabe. Bisa kesambet atau kena teluh Perut bisa melendhung betulan. “Ning kula maan, mas ten riku. Mboten wonten sing wani ngganggu. Pit mawon mboten ical (Di situ saya aman mas. Tidak ada yang berani ganggu. Sepeda ditinggal berhari-hari di sana tidak hilang),” kenang-nya.
Ada pengalaman yang tidak terlupakan selama hidup Mbak Karto Pawiro, sewaktu pulang dari Ambarawa. Sebelum memasuki Secang, karet rem ban sepedanya habis. Karena jalannya menurun, rem blong. Tanpa pikir panjang dia loncat dari sepeda yang sarat muatan ijuk. Sepeda terjungkal menabrak bug (jembatan kecil). Pulangnya terpaksa cari tumpangan truk. Dan harus jalan kaki dari Tempel sampai Moyudan. “Damel duk, saderma nyambung gesang Mas. Nak-anak pun sami mapan Mas,” begitu akunya menutup obrolannya.
Ada pengalaman yang tidak terlupakan selama hidup Mbak Karto Pawiro, sewaktu pulang dari Ambarawa. Sebelum memasuki Secang, karet rem ban sepedanya habis. Karena jalannya menurun, rem blong. Tanpa pikir panjang dia loncat dari sepeda yang sarat muatan ijuk. Sepeda terjungkal menabrak bug (jembatan kecil). Pulangnya terpaksa cari tumpangan truk. Dan harus jalan kaki dari Tempel sampai Moyudan. “Damel duk, saderma nyambung gesang Mas. Nak-anak pun sami mapan Mas,” begitu akunya menutup obrolannya.
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.