Hanya Jualan Gerobak, Omzet Sebesar Rp. 400 Juta Perbulan Dapat Diraih
Pak Jade Warsito
|
Perihal perjalanan hidup yang jelas-jelas menggambarkan keadaan untuk sulit maju. Memiliki seorang Ayah yang hanya bekerja sebagai kuli penggarap sawah dan Ibu yang sudah meninggal sejak ia berusia 5 tahun. Pria kelahiran Kebumen 9 November 1972 tidak pernah bosan melihat oyek (makanan desa dari singkong) dan gaplek sebagai makanan keseharian.
Jangan berliku tidak henti-hentinya untuk dilalui. Perut yang selalu keroncongan acapkali hadir saat ia menempuh pendidikan di Sekolah Dasar. Bahkan jatah makan siang untuk upah bapaknya harus dibagi dua. Semua itu belum termasuk, satu seragam dan satu sepatu yang tidak pernah ganti-ganti sampai ia menginjak kelas 3 SD (Sekolah Dasar).
Mulai ia terbersit mencari uang untuk memenuhi kebutuhan. Pekerjaannya sebagai kuli angkut genteng berhasil mengganti sepatu dan seragam yang sudah rusak. Upahnya lumayan dan setidaknya keinginan dia untuk menabung telah digapai.
Semenjak ia masuk sekolah ketingkat SMP (Sekolah Mengengah Pertama), Warsito muda rajin mengisi liburan sekolahnya untuk bertamu ke rumah kakaknya di Jakarta. Di sana ia menyambi waktu luangnya jadi tukang las. Walhasil! Jiwa kreatif dan selalu memiliki inovasi, nilai-nilai itulah yang selalu membuat laki-laki miskin dari desa Tambak Agung tidak pernah berhenti untuk berjuang.
Lulus dari SMP, ia mencoba untuk menempuh pendidikan berikutnya sebagai seorang guru pada tahun 1990. Hasilnya ia lulus tes masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Pembayaran SPP untuk perbulannya sejumlah Rp. 2.500 didapat dari sisa uang kiriman kakaknya sebanyak Rp. 5.000/bulan.
Jade Warsito kemudian mendapatkan pekerjaan anyar sebagai penulis artikel untuk majalah dan radio setelah masuk menjadi anggota sebuah organisasi sastra. Tentu honornya lumayan guna menambah uang saku. Namun ada masalah yang tidak disangka telah terjadi, SPG tempatnya sekolah dikabarkan harus tutup. Ha! . . . . . . . . .Apa maksudnya semua ini ????
Kendati begitu, prestasi sekolahnya tetap bisa dikatakan gemilang. Sang kakak melihat kenyataan tersebut, segera ia bergegas mengajak adiknya untuk datang ke Jakarta pada tahun 1991.
Awalnya dia bekerja sebagai marketing untuk perusahaan kitchen set selama 8 Bulan.
Semua Kisah Sukses itu Berawal dari Jakarta.
Dari pagi hingga malam, wajahnya selalu dihiasi oleh guratan semangat untuk lebih baik. Jade Warsito telah menginjak dewasa dan dia mulai kehidupan baru di Ibu kota melalui pembelajaran dari kursus Komputer. Sempat bekerja sebagai kasir, lalu tak lama kemudian dirinya mencari peruntungan melalui jualan handphone.
Nada bangga ia lantunkan saat wawancara dengan Harian Suara (10/5/16), "Waktu itu hape masih barang mahal. Bahkan bos saja belum tentu punya."
Beberapa tahun kemudian tepatnya di tahun 1995, Warsito mendapatkan kesempatan untuk memulai karir resminya bersama pemilik restoran Mie Gunting. Tapi ia tidak langsung bekerja dan harus menunggu selama sebulan. Padahal, saat itu ia harus menghidupi istri dan anaknya. Alhasil, menjadi kuli bangunan pun sempat ia jalankan.
Perihal pekerjaan ini ia dapatkan atas sering bertemunya Pak Jade dengan beberapa pengusaha dan belajar soal marketing. Mungkin saja skill-nya saat berjualan handphone benar-benar ia manfaatkan. Buktinya para teman pengusahanya mau mengajak dia untuk pindah kerja karena keinginan kuat Warsito untuk maju.
Setelah bekerja sebagai tenaga marketing untuk perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha kitchen set selama 8 bulan, dia memutuskan untuk berhenti. Pada 1996, ia mendapat pesanan mendesain dan merenovasi kitchen set untuk dapur restoran oleh klien di tempat bekerjanya dahulu. Beruntung kiranya jika ia sempat belajar secara otodidak cara pembuatan kitchen set.
Tak disangka, si pemesan sangat puas dengan hasil karyanya. Malah, ia diberi pinjaman modal awal untuk memulai usaha kecil-kecilan. Sejak saat itu, jasa Warsito mulai banyak dilirik oleh berbagai pengusaha dari restoran lain. Hingga ia memiliki karyawan sebanyak 40 orang.
"Memang sekitar 70 persen gerobak yang saya prduksi kebanyakan order dari pedagang makanan," ujar Pak Jade Warsito kepada Harian Suara (10/5/16).
Krisis Ekonomi yang menakutkan bagi semua pengusaha. Namun. . . . . . . .
Yang namanya usaha, pasti ada fase jatuh bangunnya. Hal itu juga dirasakan oleh Pak Jade saat krisis moneter 1998. Pertumbuhan pesat selama 3 tahun nyaris tinggal mimpi, karena banyak rekan-rekannya si pemilik restoran mengalami pailit.
Kira-kira pengalaman terdahulu mampu mengarahkan dia untuk menelurkan sebuah usaha yang bergerak dalam bidang desain. Produk yang dimiliki oleh PT Biru Sejahtera Abadi (BSA) secara mengejutkan dapat menggoda beberapa konsorsium besar, seperti Balai Sidang JCC, Hotel Sheraton, Ritz Carlton, dsb. untuk meneken kontrak kerjasama pada tahun 1999.
Terlihat semakin mantap tekad Pak Jade untuk mengembangkan usahanya. Namun Pelajaran dan kembali pelajaran tentang kebangkrutan menuntun Pak Jade untuk kembali berpikir. Pertimbangan saat itu mengarahkan dia untuk relatif memilih bidang usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Warsito memutuskan total berkecimpung di UMKM dengan fokus usaha, yaitu memproduksi Gerobak.
"Memang sekitar 70 persen gerobak yang saya produksi kebanyakan order dari pedagang makanan. Tapi ada juga order untuk kebutuhan hotel dan lain-lain," ujarnya.
BSA mampu melayani pesanan pembuatan Gerobak sebanyak 40 hingga 100 unit dalam tempo waktu 1 (satu) bulan. Semua pertimbangan usaha gerobak diinspirasikan oleh sebuah pameran waralaba di tahun 2006. Memadukan gaya kitchen set guna menghasilkan desain gerobak yang unik. Ia awalnya mematok karyanya dengan harga yang sangat murah, namun tetap mempertahankan kualitas dan bahkan mutunya bisa dikatakan istimewa. Tentu, banyak pengusaha waralaba tertarik untuk memesan. Baru langkah berikutnya, dia menaikkan harga jualnya.
Meski begitu, kian banyak waralaba yang terlanjut suka kepada desain gerobaknya. Bila pada Januari 2011, dia hanya mampu meraih omzet sebesar Rp. 200 juta, sekarang dia minimal memperoleh omzet Rp. 400 juta. Warsito menjual booth-nya dari harga termurah Rp. 3,5 juta sampai yang termahal Rp. 40 juta. Permintaan datang dari waralaba baru maupun waralaba lama. "Biasanya waralaba kuat saja yang bisa bertahan," ujar Warsito kepada Harian Kontan (30/05/11).
Kebab Turki Baba Rafi dan Corner Kebab tiap bulan acapkali memesan 10 hingga 15 booth dengan neraca pemesanan sebesar Rp. 6 juta - Rp. 100 juta.
Warsito pun menambahkan bila banyak waralaba baru biasanya dalam waktu satu setengah bulan akan balik lagi untuk memesan kembali sebanyak tiga sampai lima unit. Dia berujar, "Mereka sadar bila booth mereka ada dimana-mana, orang akan percaya bahwa mereka adalah waralaba yang bagus." Dia juga mempunyai pelanggan yang tiap dua atau tiga tahun merenovasi booth untuk mendapatkan tampilan baru yang lebih segar. Bahkan waralaba terkenal seperti Kebab Turki Baba Rafi dan Corner Kebab tiap bulan seringkali memesan 10 hingga 15 booth dengan necara pemesanan sebesar Rp. 6 juta - Rp. 100 juta.
Waduh! Tidak salah bila rekan bisnisnya saat ini memberikan julukan untuk Pak Jade Warsito adalah Raja Gerobak. Kiranya benar juga bagi kita untuk mengikuti jejaknya: tidak mudah menyerah, terus berkreasi dan rajin melakukan inovasi. Ya, success story to never ending Mr Warsito.
Sumber Penulisan
http://www.suara.com/bisnis/2016/05/12/143419/jade-warsito-anak-gaplek-yang-kini-jadi-raja-gerobak
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/warsito-dari-tukang-las-menjadi-juragan-gerobak-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/usaha-pembuatan-gerobak-makin-laju-1
http://provenvisits.org/raja/raja-gerobak-indonesia-pt-biru-sejahtera-abadi.html
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.