Semula hanya penganyam bambu untuk langit-langit rumah. Tapi, kini Jumari sukses sebagai pengrajin. Produknya mampu menembus pasar negara-negara tetangga, bahkan sampai Timur Tengah.
"Semula, kami memang hidup dengan menganyam kulit bambu. Sampai tahun 1990-an anyaman bambu masih jaya. Saya biasa tidak pulang seminggu sekali karena sibuk mengerjakan proyek pemasangan langit-langit rumah di luar kota," kata Jumari.
Dari hasil menganyam kulit bambu itu, Jumari mampu mengentaskan ketiga putranya. Salah satu putranya kini mengikuti jejaknya menjadi pengrajin kayu. Hasil dari anyaman kulit bambu ketika itu cukup besar.
Sayang, kemajuan zaman melibasnya. Pasaran anyaman bambu untuk langit-langit rumah surut di awal tahun 2000.
"Tapi pasca gempa bantul 2006, anyaman bambu kembali laku keras. Banyak pesanan untuk membangun rumah-rumah baru disana. Harga per meter anyaman bambu Rp. 20 ribu. Kalau sekalian pasang Rp. 40 ribu," jelasnya.
Namun, lagi-lagi bisnis itu kembali kandas. Sesudah banyak rumah selesai dibangun di Bantul, pesanan sunyi senyap, Jumari dan Yunikem hanya bisa bertahan.
Sebab, hanya itu keahliannya. Beruntung, masih ada pedagang yangmau mengambil hasil anyaman bambunya. Kendati begitu, hasil tak mencukupi. Jumari pun tergerak mencari inovasi baru. Tidak sengaja, ia mendapatkan inspirasi dari Gunung Kawi.
Jumari mengisahkan, sejak mudah dirinya suka berziarah ke makam-makam keramat. Dari hobinya berziarah, suatu ketika Jumari melihat patung kepala orang dari kayu yang dijual di kompleks makam Gunung Kawi, Malang.
"Waktu itu, saya dan istri kepingin banget. Tapi, tidak punya uang untuk membeli. Sambil di rumah, saya coba membautnya," kenangnya.
"Tidak dinyana, Jumari bisa membuatnya. Malahan lebih bagus dari yang dijual di Gunung Kawi itu," ujar Yunikem, yang ikut mendampingi Jumari.
Berawal dari patung kepala orang tersebut, Jumari mulai terbelik gagasan untuk membuat kerajinan tangan selain anyaman kulit bambu. Hampir setiap hari Jumari membuatnya. Lama-lama, ada teman yang suka dan membelinya.
Berawal dari satu teman beli satu, akhirnya kabar menybar. Jumari pun dikenal sebagai pembuat kerajinan patung kepala orang dari kayu. Bentuknya beragam. Mulai dari bentuk orang tua dan tentara. "Waktu itu, orang lain ada yang menjual patung buatan saya ke Malaysia," aku Jumari.
Rezeki Cumplung.
Melihat patung buatannya laku sedemikian keras. Jumari kian terlecut untuk berkreasi. Karena tak punya modal besar, dia hanya memanfaatkan bahan-bahan kayu sisa atau yang sekiranya tidak mahal. Seperti cumplung atau kelapa yang jatuh dari pohonnya karena busuk. Cumplung yang sama sekali tidak berguna itu, di tangan Jumari disulap menjadi komoditi ekspor yang memberi keuntungan hampir 90 persen.
Bayangkan saja. Jumari membeli satu buah cumplung seharga Rp. 500. Setelah dibuat menyerupai kepala monyet, harganya menjadi Rp. 10 ribu per buah. Untuk membuatnya pun tidak perlu alat-alat berharga mahal. Bahkan tanpa pisau ukir.
Cukup dengan pisau dapur yang tajam, sisir kawat dan amplas. Dalam sehari, Jumari mampu membuat 10 buah patung. "kalau pun ada tambahan biaya produksi, mungkin per buahnya hanya membutuhkan dua ribu rupiah," kata Jumari.
Ide membuat patung kepala monyet dari cumplung itu, terinspirasi dari film Kera Sakti yang diputar setiap hari disebuah stasiun tv. Ide itu kian menggelitik, manakala Jumar sering melihat gambar monyet di lembaran uang kertas Rp. 500. Jumari akhirnya bereksperimen membuat patung kepala monyet dari cumplung.
Jumari tak pernah berpikir bagaimana cara untuk menjualnya. Selama barang itu unik, dia yakin pasti ada jalan untuk laku.
Benar saja, tetangga kanan kiri ada yang tertarik. Lalu, membawanya ke Pasar Beringharjo dan toko-toko kerajinan di Malioboro. Seiring waktu, Jumari juga rajin mengikuti pameran di berbagai tempat. Tahun 2002, mulai ada order dari orang asing. "Sekarang, setiap tahunnya pedagang dari Turki rutin memesan patung kepala monyet ini sebanyak 1.000 - 2.000 buah," ujarnya bangga.
Kreatifitas Jumari tak sebatas itu. Doklak atau akar pohon bambu juga dibuat kentongan dengan bentuk menarik. Karena nilai fungsinya, kentongan dari bahan dongklak tersebut lebih laris manis.
Keuntungan juga sama dengan cumplung. Harga dongklak per buanya Rp. 500. Setelah jadi kentongan, harganya melambung menjadi Rp. 25 ribu. "Cara membuatnya juga mudah. Untuk memenuhi semua pesanan, saya juta tak pernah mencari karyawan dari luar. Tiga orang anak saya dan istri mampu memenuhi target," pungkasnya.
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.