Jika
merujuk pada legal formal, nikah siri memang bertentangan dengan
undang-undang. Tapi faktanya, tak sedikit pasangan memilih menikah
secara siri dengan berbagai alasan.
Sebut
saja Ulfa (19), gadis manis mahasiswi sebuah PTS terkemuka di Yogya
utara ini naanya sudah disamarkan. Mengaku menjalani nikah siri sudah 2
tahun tepatnya, sejak lulus SMA.
Keinginan
melanjutkan kuliah, menjadi alasan penting ketika menikah siri dengan
duda beranak 3. Salah satu anak suami sirinya itu sebaya dengan Ulfa.
Pertimbangan biaya kuliah menjadikannya mau dinikahi di bawah tangan.
Dia berkisah, almarhum ayahnya dulu hanyalah seorang karyawan Swasta.
Tak meninggalkan uang pensiunan. Dia anak sulung dari 4 bersaudara.
Ibunya yang membuka warung makan kecil di Banjarnegara. Hasilnya tak
mampu memenuhi semua kebutuhan. Apalagi bila harus mengkuliahkan Ulfa.
Makanya,
dia rela dinikasi secara siri oleh seorang pengusaha yang berstatus
duda. Semua dilakoninya demi mewujudkan keinginan untuk dapat
melanjutkan kuliah, meraih asa. Menjadi sarjana ekonomi yang merupakan
cita-citanya sejak kecil.
Sekarang,
Ulfa tinggal di rumah kontrakan di bilangan Babarsari. Setiap sabtu
‘suami’nya selalu bertandang plus memberikan segala kebutuhan hidupnya
selama seminggu ke depan.
Lain
Ulfa, beda pula dengan Ariek (23) yang tinggal seatap dengan Joko (25).
Tentunya nama itu sudah direka. Sepasang sejoli ini mengaku melakukan
nikah siri semata untuk menyelamatkan diri agar tidak berbuat zina.
Pernikahan siri itu dilakukan dengan sepengetahuan orang tua mereka.
“Kalau
sekedar tunangan, itu belum sah. Aku takut terjerumus zina. Daripada
tidak kuat nahan, ya nikah siri saja, secara agama itu diperbolehkan,”
ungkap Ariek yang masih berstatus mahasiswa salah satu PTS di kawasan
Lingkar Utara.
Nikah
Siri merupakan realita yang menimbulkan pro dan kontra. Di tataran
tertentu, erupakan solusi terbaik untuk tidak terjerumus perzinaan.
Namun pada sisi lain, Pembenaran apapun tidak bisa diberlakukan untuk
melegalkan nikah siri yang bertentangan dengan UU No 1 tahun 1974.
“Mungkin sebelum adanya UU Perkawinan, praktek nikah siri banyak
terjadi. Tapi setelah ada undang-undang itu, tidak lagi,” ungkap Kepala
Kantor Departemen Agama Kabupaten Bantul Drs H Abdul Majid MA.
Sebenarnya
esensi perkawinan atau pernikahan itu dilakukan untuk mendapatkan
ketenteraman, sesuai dengan kaidah ajaran agama. Menikah itu selain
untuk mendapatkan keturunan juga agar dapat dijadikan penenteraman diri.
Dan perkawinan yang sesuai aturan, baik secara pemerintah, dan sah
secara agama adalah perkawinan yang melalui lembaga yaitu KUA.
Nikah
siri memang masih kontroversi. Bahkan pernah mencuat rencana
memidanakan pelakunya. Dalam merespons itu, wakil ketua Komnas Hak Asasi
Manusia, Hesti Armiqulan pernah melontarkan keberatannya bila pelaku
nikah siri dipidanakan.
Dilihat
dari perspektif hak asasi manusia, sesungguhnya menikah adalah atas
kehendak bebas dari calon mempelai laki-laki dan perempuan. Kewenangan
pemerintah adalah mengatur, bagaimana pernikahan dicatatkan sah oleh
negara.
Apalagi
UU No.1 tahun 1974 menegaskan, perkawinan sah dilakukan jika menurut
hukum agama. Maka tahap pertama, harus dilakukan menurut hukum agama.
Itu pertimbangan yang diajukan oleh Hesti.
Jadi, kriminalisasi pelaku nikah siri dianggap berlebihan.
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.