Pria
itu bernama Djumari. Di usianya kini yang menginjak 54 tahun, ayak
empat orang anak ini masih aktif bekerja untuk membiayai keluarganya.
Usaha yang ia geluti saat ini memang terbilang jarang dilirik orang. Ia
bekerja sebagai pembuat sekaligus pedagang kemoceng, yang terbuat dari
bulu ayam.
“Saya hanya bisa membuat dan menjual kemoceng ini. Soalnya saya ndak sekolah, jadi ndak bias apa-apa.
Orang tua saya dulu memang usaha ini (membuat kemoceng bulu ayam), jadi
saya hanya meneruskan dan belajar dari mereka saja,” terangnya.
Djumari
dan keluarga memang sejak lama menumpukan hidup mereka dari hasil usaha
kemoceng ini. Tak ayal, Djumari pun sampai nekat menginap berhari-hari
di Yogya dan meninggalkan keluarganya di Klaten untuk menjajakan
kemoceng. “Dari dulu saya memang kalau jaualan ini (kemoceng bulu ayam,)
di Yogya. Apalagi Yogya kan kotanya ramai, jadi peluang lakunya besar.
Kalau di Klaten biasanya yang jual anak dan istri saya. Saya baru pulang
ke Klaten kalau dagangan ini sudah laku semua, soalnya kalau ndal laku ngapain saya pulang,” jelasnya.
Setiap
harinya, hampir semua pasar tradisional di Yogya ia datangi untuk
menjajakan dagangannya. Jarak puluhan kilometer ia tempuh dengan
berjalan kaki, menyampangi pasar satu ke pasar lainnya. Ini ia lakukan
untuk mengirit pengeluaran. “Kalau saya naik bis, nanti uangnya kurang.
Mendingan uangnya buat makananak istri. Lagian kalau jalan bisa sekalian
menawarkan dagangan ke rumah atau toko yang saya lewati, “ujarnya.
Djumari
mengatakan, biasanya ia membawa 70 pucuk kemoceng bulu ayam berbagai
ukuran dari rumahnya di Klaten. Jika ditanya kapan habis dagangannya
tersebut, it pun tak bisa memastikan. Karena menurut Djumari, dalam
sehari ia kadang bisa menjual 10 pucuk kemoceng, bahkan sering juga tak
laku, sehari bisa dapat uang Rp. 100.000, tapi seringnya sepi. "Soalnya
sekarangkan jarang orang pakai kemoceng bulu ayam. Apalagi sekarang
kemoceng berbahan dasar tali platik banyak beredar dipasaran dengan
harga yang murah juga,” katanya.
Tahan Lama
Harga
kemoceng yang dijual oleh Djumari memang sedikit mahal ketimbang
kemoceng plastik. Pasarnya, satu kemoceng berukuran sedang ia jual
dengan harga Rp. 15.000 dan Rp. 25.000 untuk kemoceng berukuran besar.
“Harga kemoceng saya memang mahal, mau gimana lagi kaalau harga
bahanbakunya memang tinggi. Ini saja semua saya kerjakan sendiri bareng
keluarga di rumah. Saya jamin kemoceng buatan saya awet, soalnya saya
memilih bahan baku yang berkualitas,” ujarnya sambil mempromosikan
dagangannya.
Untuk
menghemat biaya hidup selama berada di Yogya, Djumari pun memilih tidur
di depan emperan toko di belakang Pasar Beringharjo. Tempat ini sengaja
ia pilih karena jarang di razia oleh aparat dinas keamanan dan
ketertiban (trantib). “Kalau malam kan yang tidur di sana (belakang
Pasar Beringharjo) jumlahnya ratusan. Jadi mendingan tidur di sana saja,
soalnya aman dan nyaman,” imbuhnya.
Tidur
di belakang Pasar Beringharjo pun memudahkan Djumari menjajakan
dagangannya, karena biasanya pasar ini mulai ramai didatangi masyarakat
untuk membeli berbagai kebutuhannya mulai pukul 03.00 pagi. Selain itu
juga memudahkan Djumari untuk sekadar mandi atau berganti baju, karena
tersedia banyak toilet umum yang tersebar di sekitar pasar. “Biar saya
jualan kemoceng, penampilan juga harus dijaga biar pembeli ndak kabur. Kalau pedagangnya bersih kan pasti pembeli ndak malas membeli atau melihat-lihat dagangan saya,” tandasnya.
minta alamatnya mas..kl bisa No.HP
ReplyDeletethank's
Waduh. . .Bukannya saya enggak mau ngasih. Saya enggak tau. Coba baca aja pada tulisan di Artikel. Kira-kira beliau tinggal di Klaten, Yogyakarta.
Delete