Hanyalah Lulusan Kelas 4 SD, Tapi Sukses Membangun 900 Bank. Itulah
Pak Masril Koto, 42, |
Pak Masril Koto, 42, menyadari ada sesuatu yang mengganggu benaknya selama ini. Sekelumit masalah di masyarakat dan kenyataan tersebut adalah Masa Depan kita semua. Padahal dia hanyalah seorang warga Negara Indonesia yang hanya sempat merasakan pendidikan akhir di tingkat terdasar.
Semboyan perjuangannya sih mudah saja: 'Berani mencoba, tapi tak pernah takut gagal.' Hingga akhirnya, pria dari Sumatera Barat berhasil mendirikan 900 Bank. Kesuksesan yang dapat disejajarkan dengan para tokoh Ekonomi, profesor, serta para pengusaha besar di Negara ini.
Waduh, kaget juga nih! Berbagai pihak yang berhubungan pun segera mengelus dada mereka. Sekilas wajah yang sedang terbengong menghadirkan ribuan pertanyaan. Kok bisa ????
Hanyalah Lulusan Kelas 4 SD, Tapi Sukses Membangun 900 Bank. Itulah
Pak Masril Koto, 42, |
Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, kenyataan positif dari fungsi
dan manfaat Gotong Royong senantiasa mewarnai interaksi penduduk desa
untuk setiap harinya.
Hanya karena Sepatu Pramuka.
Jalan hidup yang berliku-liku tentunya acapkali hadir pada setiap detik perjalanan hidupnya. Anak pertama dari 8 bersaudara harus drop-out dari sekolah. Pendidikan hingga kelas 4 SD ditinggalkannya, karena tidak memiliki uang untuk membeli sepatu pramuka.
Sebagai Anak tertua, dia wajib bertanggung jawab untuk membantu adik-adiknya. Mas Masril selekasnya mengambil keputusan untuk bekerja sebagai tukang pulung. Tak disangka pekerjaan kotor tersebut mampu menghasilkan sesuatu yang berharga. Berkat tabungan yang dimiliki, sebuah mesin jahit bisa ia bawa pulang ke rumah.
Ia kemudian belajar mengolah kain menjadi baju dan ternyata, orang-orang kampungnya tidak sedikit memiliki mata pencaharian sebagai penjahit. Kecocokan tersebut terus ia tekuni hingga suatu saat orang tuanya pun ikut membantu. Sekedar pekerjaan untuk memasang kancing.
Sudah Dewasa dan Sang Anak Kampung mencoba peruntungan ke KOta Besar.
Ada gula ada semut. Pepatah tua yang rasanya mampu mewakilkan fenomena menarik dari kehidupan perkotaan. Berawal dari pindahnya keluarga Pak Masril ke kampung lain pada beberapa tahun kemudian. Ia pun berganti pekerjaan sebagai kuli angkut pada pasar yang terletak di Padang luar.
Kondisi tersebut ternyata semakin memudahkan ia dalam mengembangkan kreativitasnya dan kembali catatan kenyataan yang mengagetkan terjadi. Rutinitas pekerjaan menuntun Pak Masril untuk mampu membuat sebuah rumah kecil. Sang orang tua serta adik-adiknya selekasnya dipersilahkan untuk mengisinya. Senyum riang tiada henti pun mengisi hari-hari keluarga tersebut.
Tidak lama kemudian, pria kelahiran 13 Mei 1974 berangkat merantau ke DKI Jakarta di tahun 1994. Kebetulan teman ibunya yang juga orang kampung Agam memberikan pekerjaan kepada anak tertuanya di sebuah usaha percetakan. Waduh! Berarti saya pernah bertemu dengan dia dong? Usaha fotokopi milik si Ibu berada tepat di sekitar kampus Universitas Trisakti untuk Fakultas Ekonomi di Cempaka Putih, Jakarta Timur.
Kebetulan toko fotokopinya merupakan tempat favorit bagi para perantau dari Sumatera Barat, Padang, jadi bukan tidak mungkin bila ia sering berbincang mengenai banyak hal dengan para mahasiswa. "Di Jakarta, saya belajar berorganisasi," jelasnya kepada Harian Kompas (03/04/2014). Sepertinya Pak Masril sangat senang dengan lingkungan di sana. Jiwa kemasyarakatannya tumbuh secara wajar hingga nantinya semua perbendaharaan tersebut berguna bagi sosialisasinya di masyarakat.
Tidak lama berselang beberapa tahun kemudian terjadilah kerusuhan 13-14 Mei 1998 dan kenyataan menyedihkan tersebut harus menuntut dia untuk pulang kampung. Ujarnya, "Saya tidak tahan melihat kekerasan yang terjadi di saat krisis."
Hanyalah Lulusan Kelas 4 SD, Tapi Sukses Membangun 900 Bank. Itulah
Pak Masril Koto, 42, |
Keuangan Mikro merupakan alat yang cukup penting untuk mewujudkan
perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah. Yakni:
mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan pekerjaan, dan
meningkatkan pendapatan masyarakat.
Karena kerusuhan 13-14 Mei 1998, Pak Masril harus Pulang Kampung.
Bertahan untuk menetap, dirasakan tidak bisa. Karena begitu banyak toko-toko yang tutup. Akhirnya ia balik ke Agam. Hitung-hitung tidak memiliki pekerjaan. Daripa diam, ia menyibukkan diri untuk bergabung dengan organisasi kepemudaan.
Pengalaman organisasi yang telah diraihnya, setidaknya bisa berguna saat itu dan Benar. Ia menggerakkan organisasi karang taruna, Banu Hampu untuk bergotong royong guna membuat lapangan bola basket. Para pemuda sangat menyukai keadaan saat itu. . . . . . . sesuatu yang baru dan lain daripada yang lain.
Tanggapan positif tersebut tidak hanya berhenti begitu saja. Kegiatan yang lebih menitikberatkan pada penjagaan lingkungan pun selantasnya diberlakukan. Ya, mereka telah berhasil merubah kampungnya dan mengkondisikan situasi yang lebih nyaman dan bersih. Hingga tidak sedikit orang-orang tua di sana sangat menghargainya.
Ide yang Brilian untuk membiayai Kegiatan Karang Taruna, Tapi . . . . . . .
Ternyata pengalaman komunikasinya di kota besar sangat berguna. Terutama saat membutuhkan ide untuk membuka peluang baru. Hal tersebut diperlukan karena himpunan karang taruna harus memiliki modal untuk membiayai berbagai kegiatan organisasi.
"Kebetulan ada jalan baru di depan ruko," seraya Pak Koto menjelaskan. Akhirnya keputusan untuk membangun ruko adalah kesepakatan bersama. Namun, pembangunan 6 ruko yang berjalan harus mengajukan penawaran hutang ke toko bangunan terdekat.
Selesai sudah ruko-ruko tersebut dibangun. Kemudian uang sewa yang tiap bulannya dibayar selekasnya dipergunakan untuk membayar hutang kepada toko bangunan. Kira-kira 2 tahun masa tersebut berjalan, hingga akhirnya lunas dan kemudian, organisasi tersebut berubah namanya menjadi Yayasan Amal Setia.
Dia mengundurkan diri dari Karang Taruna, karena . . . . . . . . .
Beberapa waktu setelah kesuksesan berjalan, Pak Masril memutuskan untuk keluar dari organisasi kepemudaan. Keputusan itu diperkuat atas dasar pernikahannya dengan sang wanita pujaan, Ibu Ade Suryani.
Setelah menikah, ia pun harus mengikuti aturan adat yang berlaku. Maka pindahlah dia ke kampung sang isteri di desa Baso, Kecamatan Nagari Koto Tinggi. Kebetulan kampung tersebut dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil pisang terbesar di propinsi Sumatera Barat. Namun saat kedatangannya disana, ia disuguhkan oleh musibah yang dialami oleh setiap ladang. Kebun-kebun pisang tersebut mati karena terserang penyakit.
Keputusan untuk melakukan penanaman kembali pada ladang bermasalah karena gagal panen terus dicari solusinya. Akhirnya, para petani mengambil keputusan untuk memilih tanaman ubi jalar sebagai penggantinya guna memperbaiki struktur tanah yang rusak. Minggu demi minggu terus berjalan, mereka pun mampu menuai senyum yang manis saat panen tiba.
Tidak berhenti hanya disitu! Kenyataan sukses yang ada menghasilkan sebuah masalah baru. Perihal modal untuk memperluas kebun dirasakan penting bagi perbaikan lebih lanjut. Kebutuhan akan Modal adalah salah satu kendala utamanya. Setelah melalui serangkaian diskusi antara instansi pemerintah dan petani, mereka memiliki kesepatakan untuk membuat sebuah bank petani.
Hanyalah Lulusan Kelas 4 SD, Tapi Sukses Membangun 900 Bank. Itulah
Pak Masril Koto, 42, |
Perjuangan Pak Masril Koto dalam mendirikan LKMA diawali oleh musibah
yang menimpa perkebungan pisang para warga kampung di desa Baso,
kecamatan Nagari Koto Tinggi. Akhirnya, para petani mengambil keputusan
untuk memilih tanaman Ubi Jalar sebagai penggantinya guna MEMPERBAIKI
struktur yang tanah rusak.
Langkah Awal Pendirian Bank Petani.
"Saya merasa punya talenta berorganisasi," secepatnya Pak Masril meyakinkan dirinya untuk berperan. Keesokan hari, ia bergegas mendatangi berbagai kantor bank di kota Padang untuk menanyakan cara mendirikan Bank. Akan tetapi, jawaban yang tidak memuaskan senantiasa hadir. "Seperti kami tak mungkin membuat bank sendiri," ujarnya saat itu.
Namun, si Anak Desa tidak menyerah. Ia menghampiri Dinas Pertanian di Kabupatennya. Kebetulan sekali saat ia datang, kantor tersebut sedang menyelenggarakan pelatihan akuntansi untuk para kelompok tani. Di tempat pelatihan itu, ia bertemu dengan Pak Yiyuk Herlambang. Dari seorang pegawai Bank Indonesia (BI) tersebut, ia mendapatkan segala informasi tentang pendirian Bank. Lantas, "Sekitar 2005, saya baru datang ke BI. Pengalaman pertama saya datang ke gedung perkantoran di kota," jelasnya.
Pembicaraan yang tidak mengecewakan, ia selekasnya membuat perencanaan tentang pendirian Bank. Proyek kerja yang juga dibantu oleh Pak Joni dari Dinas Pertanian Sumatera Barat berhasil mengumpulkan modal dari para petani, melalui penjualan saham senilai Rp. 100 ribu per lembar saham. Kemudian terkumpulah modal Rp. 15 juta dari 200 petani di Baso.
Alhasil, 4 bulan kemudian atau terhitung sejak tahun 2006 terbentuklah sebuah lembaga keuangan bagi para petani di kampungnya. Pak Masril Koto ditunjuk sebagai ketuanya dan dia bekerja sama dengan 5 pengurus. Ia pun segera meluncurkan beberapa program, seperti tabungan untuk pendidikan anak, tabungan untuk ibu hamil, tabungan persiapan pernikahan, tabungan pajak untuk pengojek, dsb. Kesempatan pengalamannya selama di DKI Jakarta pun ia gunakan dimana buku-buku tabungan, surat-surat kredit, serta lembaran saham. Semua kebutuhan cetak-mencetak pun diproduksi sendiri.
Keberhasilan kinerja dari Bank Petani menuntun banyak organisasi masyaraat untuk datang guna melakukan studi banding. Terhitung juga, beberapa menteri terdaftar mengunjungi Bank yang berubah namanya menjadi LKM (Lembaga Keuangan Mikro) Prima Tani di tahun 2007. Namun entah mengapa? Pak Masril keluar dari kepengurusan bank di tahun 2009. Padahal, aset yang dimiliki telah mencapai total jumlah sebesar Rp. 150 juta.
Hanyalah Lulusan Kelas 4 SD, Tapi Sukses Membangun 900 Bank. Itulah
Pak Masril Koto, 42, |
Bila terdapat nasabah yang nunggak dalam berhutang, Harian Detik (22/09/2014) menulis, "Nama Satu Keluarga Diumumkan di Masjid."
Beberapa bulan kemudian, ia keluar dari LKMP.
Namun ada beberapa hal yang cukup sulit harus ia emban saat itu. Ungkapnya mengenai kondisi internal keluarga saat itu kepada Harian Swa (02/11/2012), "Pertama, adalah kondisi saya ketika itu. Saya sudah punya keluarga ketika itu. Kondisi keluarga terutama perekonomian keluarga harus saya pikirkan. Saat itu, kondisi ekonomi saya dan keluarga tidak bisa dibilang baik, bahkan bisa dikatakan sedang goyah. Kemudian, saya harus bisa membagi waktu dengan keluarga. Tapi, saya selalu berusaha untuk meyakinkan istri saya terutama, untuk bisa bersabar."
Untuk masalah eksternal, Pak Masril menyatakan tidak gampang meyakinkan orang Minang, "Ada yang harus pakai berkelahi dulu, ada yang saling curiga. Tapi, lagi-lagi, saya coba untuk sabar. Saya berusaha untuk meyakinkan mereka lebih dalam lagi dan akhirnya mereka pun percaya terhadap lembagai keuangan ini."
Tidak jarang, Pak Masril pun harus berjuang sendiri, "Saya pergi ke mana-mana naik motor. Padahal jarak antar satu daerah ke daerah lainnya disini cukup jauh dan menantang. Tapi, lagi-lagi, kembali ke awal, saya harus bersabar dalam menghadapi ini semua. Tidak cepat menyerah maka hasilnya pun akan sesuai dengan yang diharapkan."
Berkat proyek dari seorang pria Jepang, ia kembali berkibar.
Pada 2010, seorang warga Jepang menemuinya dan meminta Pak Masril membantu dia untuk membuat LKM Agribisnis (LKMA) untuk 2.000 petani di Sumatera Barat. Pencapaian terbaik yang pernah diraih. LKMA barunya telah berkembang menjadi 550 unit di seluruh wilayah Sumatera Barat, dengan total aset mencapai Rp. 250 Milyar pada suatu catatan di tahun 2012.
Total tenaga kerja kira-kira 1.500 anak petani yang di dapat dari kampung-kampung. Uniknya, setiap pegawai tidak mendapatkan gaji bulanan. Jadi gimana dong? Mereka bisa menentukan jumlah gaji yang diinginkan setelah mendapatkan jumlah nasabah menurut kategori persyaratan yang telah ditentukan.
Sejak saat itu, namanya kian terdengar apik sebagai pendiri Bank Petani. Tidak hanya di Sumbar, konsep bank petani juga berkembang ke seluruh daerah di Indonesia. Cita-cita yang bukan sekedar impian, "Saya ingin mengajak petani berdaulat secara pangan dan ekonomi di desanya."
Hanyalah Lulusan Kelas 4 SD, Tapi Sukses Membangun 900 Bank. Itulah
Pak Masril Koto, 42, |
"Bagi orang Minang itu adalah soal harga diri. Makanya sampai sekarang
tak ada yang telat bayar," seraya Pak Masril Koto menambahkan. . . . . .
. . . . .Cara yang unik untuk mengantisipasi kredit macet. Perlukah
Bank Indonesia juga menerapkan pola serupa ?? . . . . . . . .
Jadi bentuk pertanggungjawaban Dana yang masuk pada LKMA, Bagaimana?
Berdasarkan azas kekeluargaan, semua yang mengelola LKMA adalah anak-anak petani, dimana orang tua mereka juga menjadi pemilik saham disana. Jadi mereka bertanggung jawab kepada pemilik saham yang tidak lain dan tidak bukan adalah orang tua mereka sendiri. Layaknya perusahan-perusahaan pada umumnya, di sini pun ada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Tidak terlupa, "Lahannya cuma 0,5 hektar," ucapnya kepada Harian Detik (22/09/2014).
Bank ini, tidak hanya melayani para petani untuk mengembangkan usaha. Namun juga untuk kebutuhan lainnya seperti anak-anak petani. Salah satunya adalah produk tabungan untuk kepemilikan komputer tablet seperti iPad. Target sasaran adalah anak-anak para petani agar bisa melek teknologi. "Kita namakan ini sebagai tabungan kepemilikan iPad," kata Pak Koto. Menurutnya, hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kebutuhan anak-anak. Saat ini kecenderungan, dengan lokasi yang jauh dari kota, sangat sulit tersentuh teknologi canggih seperti iPad. "Biar kalau mereka ke kota itu melihat iPad bukan hal aneh," katanya.
Bank Petani menerapkan cara yang unik untuk mengantisipasi resiko kredit macet. Yaitu penerapan sanksi sosial terhadap petani yang tidak membayar utang. Masril menyebutkan, pihaknya akan mengumumkan nama debitur pada masjid atau mushalla. Tidak hanya debitur, tapi nama satu keluarganya. "Bagi siapa yang tidak membayar, itu diumumkan di mesjid. Disebutkan satu keluarga," ujarnya. Menurutnya hal tersebut sangat efektif dilakukan. Karena, kata Masril, utang bagi masyarakat di wilayah Sumatera Barat (Sumbar) adalah harga diri. Apalagi itu dikaitkan dengan satu keluarga. Jelasnya, "Bagi orang Minang itu adalah soal harga diri. Makanya sampai sekarang tak ada yang telat bayar."
Sumber penulisan:
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.