Nggodhog Wedang Teh bersama 50 jenis Racikan dari Kedai Teh Laresolo, Mengapa Tidak ???? |
Catatan perjalanannya sekilas terlihat identik dengan perilaku umumnya kita. “Maaf yang ada cuma teh,” saat sang Ibu Rumah Tangga di tahun 80’an bergegas menghampiri para tamu yang datang. Kemudian dibuatkanlah sebuah Kedai Teh Lare Solo oleh Pak Bambang Mukhtar setelah ia belajar sekian lama mengenai sejarah teh dan filosofinya.
Sebagian orang mungkin hanya mengenal teh sebagai minuman saja. Banyak dari mereka tidak tahu perihal konsep dasar teh yang disertai oleh hakikat penjelasan dan argumentasi pengetahuan yang kuat. Kenyataan akan jarak khasanah pun selekasnya tidak dibiarkan oleh si Anak Desa untuk terus bertengger. Melalui definisi kerja yang realistis, para konsumen-nya dapat dengan mudah memperoleh segenap pengakuan yang jujur akan racikan 50 jenis teh dari berbagai wilayah di Planet Bumi (Buku Manusia).
Teh merek 999 dan cap Sepeda Balap.
“Saya minum teh dari kecil, bahkan pada waktu itu saya tidak pernah minum air putih, selalu minum teh,” tulis Pak Bambang Mukhtar, 51, pada salah satu artikel di blog-nya (02/05/2014), “Sebelum teh botol Sosro terkenal seperti sekarang, kami kemana-mana selalu bekal air teh yang dimasukkan dalam botol bekas Orson (syrup jeruk).”
Keluarganya bukan berasal dari kalangan berada. Umumnya wong desa kala itu, Bambang kecil beserta ayah, serta kakak selalu disediakan menu yang sederhana oleh sang ibu. Nasi bersama cabe rawit, sekaligus tempe dan kerupuk. Ragam masakan yang sangat lezat terpadu begitu apik saat kebiasaan minum teh menjadi suatu kewajiban bagi aktivitas keluarganya di pagi dan sore hari.
Setiap hari, sembari menghabisi waktunya untuk sekolah acapkali ibunya nggodhog wedang (masak air). Lantas, teh bermerek 999, teh gopek, dan teh cap sepeda balap dinyatakan oleh Bambang kecil sebagai komposisi kekayaan alam terbaik untuk nya dalam mengenal ritual tradisi meminum teh. “Ibu setiap membangunkan saya. Biasanya ibu akan menunjukkan gelas mana yang punya saya, dan gelas mana yang punya bapak atau kakak.”
Sempat berganti-ganti Pekerjaan.
Beranjak dewasa, Bambang muda terlihat begitu lincah guna menggapai mimpi-mimpinya. Semua ia jalani dengan segenap tenaga dan kesungguhan. Beruntung kiranya saat pekerjaan awal sebagai karyawan di perusahaan menghampirinya.
Melewatkan lintasan waktu bersama usianya yang terus bertambah menjadi 32 tahun, ia tampak agak sedikit risau. Terpikir sejenak perihal uang pensiun saat berhenti kerja kelak mengajak ia untuk lebih berfikir. Guna mendapatkan inspirasi, waktu yang berjalan sering diisi oleh berbagai kegiatan yang menyangkut dengan hobi. Kira-kira bidang fotografi-lah tempat menumpahkan segalanya.
Enggak jauh dari profesi sebelumnya, pria kelahiran Solo, 10 April 1965 mulai menginjak disiplin ilmu yang nantinya memiliki hubungan erat dengan masa depannya. Kinerjanya di bidang desain pada tahun 1997 mengarahkan perkembangan dirinya untuk lebih baik dari sebelumnya. Walaupun keputusan berikutnya sama seperti terdahulu, yakni merubah prioritas target kerja, karena tidak kunjung mendapatkan kemantapan.
Kegagalan demi kegagalan yang pernah terjadi membuat Pak Bambang terus menginstropeksi diri. Hingga saatnya, ia mengaktualisasikan segala permasalahan pada bidang tulis menulis. Kebetulan juga, salah satu penulis favoritnya adalah sosok yang cukup terkenal pada kolom tetap di Majalah Tempo saat itu. Profil Pak Bondan Winarno, 66, itulah yang nantinya melatarbelakangi rencana pembentukan suasana kehangatan dan interaksi kondunsif akan bidang usahanya di kedai teh.
Berkat Dunia Penulisan.
Banyak orang bilang bahwa pengalaman adalah guru yang berharga. Kisah nyata di atas, kiranya cukup pantas dijadikan nasehat terbaik bagi langkah Pak Bambang dalam waktu dekat. Melalui komunitas Pak Bondan yang bernama, Jalan Sutra, ia bergabung dan banyak mendedikasikan waktunya untuk kegiatan tulis menulis.
Dia mulai meng-aplikasikan secara bulat-bulat cara lama yang dia yakini membawa kemajuan pada lingkungan barunya. Berbagai catatan perjalanan, interaksinya dengan kuliner setempat, hingga pengalamannya ketika meminum teh. Seakan linangan air mata selama ini telah mengangkat jawaban yang sangat berarti. Dan benar, tulisannya mendapatkan penghargaan yang cukup meyakinkan dari para anggota komunitas.
Apalagi ulasannya yang berkenaan dengan aneka produksi dari merek teh yang sering masyarakat umum temukan di pasar grosir modern. Hal tersebut mendorong rekan-rekannya untuk mengirim seperangkat teh favorit mereka untuk ia konsumsi. Terangnya saat itu, “Teh pertama yang saya cicipi dan belum pernah saya dengar namanya adalah teh puerh dan silver needle.”
Menurutnya kemudian, pencatatan jenis-jenis teh sangat penting. Mengapa? Dengan dicatat bisa diceritakan, disebarkan kepada orang lain sehingga informasi yang ada bisa berharga dibanding cerita secara lisan. Sangat nyaman dan cocok tentunya, karena skill penulisan dia sendiri memiliki latar belakang yang sesuai untuk mengulas ragam, proses seduh, dan perihal kode etik budaya yang terkandung pada sejarah teh.
Lucu juga sih ketika memperhatikan aksi teman-temannya di keesokan harinya, “Makin banyak pengalaman minum teh yang saya tulis, kian banyak pula kiriman teh untuk saya coba.” Tak heran bila kemudian nilai-nilai kearifan lokal yang ada membentuk sebuah sepuhan emas berkilau dan seraya, pemilik Tea Gallery, Ibu Ratna Somantri tak ragu menggandeng dirinya untuk bekerjasama guna membangun komunitas pecinta teh pada tahun 2007. Ibu Ratna berperan sebagai founder dan Pak Bambang rajin mengantisipasi kondisi kerja di lapangan sebagai co-founder.
Saat menciptakan perspektif alamiah untuk fokus pada seluk beluk pengetahuan akan teh, ia selekasnya membuat sebuah branding penulisan melalui akun media sosial yang kala itu dikenal dengan Multiply. Atensi positif yang diterima pun cukup mengejutkan. Dia sering diundang sebagai narasumber bagi perkembangan teh di tanah air untuk siaran televisi, radio sampai dengan racikan khusus dalam bentuk penulisan di media majalah, koran, dan launching produk-produk teh. Atas peningkatan karir yang ada, Pak Bambang Laresolo sempat mendapatkan permohonan untuk bergabung dengan Perusahaan Teh dan ia mengutarakan kepada saya melalui akun Facebook (16/09/2016), "Pernah ditawari memang tp saya putuskan akhirnya membuka kedai teh sendiri." Sepintas apa yang dilakukan Pak Bambang memang cocok dan pas dengan aneka literatur dan referensi bisnis ala nusantara.
Keputusan untuk Pensiun dini. Padahal Pekerjaannya lebih baik dari sebelumnya.
Sederhana sekali, ternyata. Itulah yang kemudian disebut sukses, karena terciptanya harmonisasi antara pengetahuan, bisnis, loyalitas, keluarga, kerja dan konsep. Alumnus D3-UGM makin konsisten untuk serius bekerja ketika Kedai Teh Laresolo terbentuk pada pertengahan 2010 di komplek Agripark, Bogor. Perbendaharaan yang dimiliki pun segera mendeklarasikan khasanahnya guna menyediakan 50 ragam teh.
Cita rasa harga yang ditawarkan pun tidak lah terlalu mahal. Anda cukup menyediakan dana sebesar Rp. 10.000. Anda sudah bisa merasakan ragam teh seperti: teh nagistel (panas, legi, kental), teh soda, teh tisane, teh hitam, teh hijau, teh susu, teh kopi, teh poci, teh twinning, fruit tea, teh ice cream, afternoon tea, teh yang disertai 8 pilihan rasa, dan sebagainya. Bilamana pilihan yang ada dirasakan belum cukup, Kedai Teh Laresolo juga menghadirkan teh berjenis kontinental yang memiliki banderol harga diatas Rp. 10 ribu: Teh Fragrance of Love, Lemon tea, tisane tea rasa after dark, tisane peppermint, teh golden angle (back lychee tea), Oolong tea, Blooming Tea, Silver Needle, Bancha tea (teh hijau Jepang), teh hitam kualitas OP (Orange Pekoe), teh oolong Kepahiang (Bengkulu), teh jenis pu-erh = teh jenis khusus yang konon berusia puluhan tahun, dan Teh putih atau white China tea yang mana harga 1 kilonya bisa mencapai Rp. 1,5 juta.
Demi kenyamanan konsumen, fasilitas peralatan disesuaikan dengan Negara asalnya. Cara penyajian teh pun ada pengkategoriannya. Langsung dalam gelas, ada juga penyajian dengan menggunakan bantuan cangkir dan poci, serta ada juga yang 1 set lengkap disertai ala peraciknya bersama sebuah nampan tradisional dari Jepang. Nah, sudah mulai tertarik? Kalau penasaran, silahkan anda mendatangi Kedai Teh Lare Solo yang berada di:
BOGOR memiliki 2 tempat:
1. Rafflesia food life, lt2 mall Jogja Bogor Junction, jl. Sawo jajar Bogor.
2. Grand Yogja Darmaga, Jl. Darmaga Raya Bogor.
YOGYAKARTA: Ruko Rafflesia II Blok N, Jalan Babarsari, Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281.
Saat ini, terdapat 7 kafe yang sudah dipasok bahan baku oleh Teh Lare Solo: DKI Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Serta, usahanya juga mendistribusikan kebutuhan teh untuk kebutuhan hotel dan kafe. Rata-rata omzet sebesar Rp. 2 juta per hari dengan kapasitas harga per gelas, yaitu Rp. 5.000 s/d Rp. 50.000.
Sejarah Teh dan Filosofinya.
Pria yang asli Solo ini, selain menjadikan kedainya sebagai sumber penghasilan, dia pun mempunyai misi edukasi bagi pecinta teh. Di sela-sela kesibukan melayani konsumen, Pak Bambang tidak segan untuk terus berbagi pengetahuannya tentang teh kepada setiap pengunjung yang bertanya.
Khusus keterkaitan dengan teh dan seni budaya. Ia mempelajari gong fucha, seni menyeduh teh ala Tiokong dan cha no yu, seni menyeduh ala kerajaan Jepang kepada Suwarni, pemilik Siang Ming Tea House yang juga sekretaris Urusanke Tonkai. Urusanke Tonkai adalah satu organisasi yang mengajarkan tata cara upacara minum teh Jepang yang berada di Indonesia.
Selain itu, teh juga memiliki klasifikasi etika dan estetika yang dapat digolongkan menurut wilayah. Di Inggris, cara memegang cangkir yang sopan yaitu menggunakan 3 jari, sementara kelingking dibiarkan mencuat. Misalnya juga cara dalam upacara minum teh di Jepang. Perilaku minum teh yang sopan adalah dengan menyeruput keras sehingga berbunyi. Hal tersebut dianggap sebagai tanda penghormatan kepada tuan rumah. Sedangkan menurut tata cara umum, kebiasaan itu malah dikatakan tidak sopan.
Pertama kali ditemukan oleh Shennong, kira-kira hamper 3.000 tahun sebelum masehi sebagai tanaman liar yang digunakan untuk pengobatan. Baru pada tahun 50-an masehi (berarti 3.000 tahun kemudian), pohon teh dibudidayakan dan mulai diminum oleh para bangsawan.
6.000 tahun kemudian, yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Tang, teh mulai popular dan menjadi minuman nasional. Pada dinasti inilah muncul sastrawan yang bernama Luyu yang pertama kalinya menuliskan buku tentang the secara lengkap. Buku tersebut memuat asal-usul teh, peralatan teh, cara memetik dan memasak teh, upacara minum teh, tempat produksi teh, dsb.
Masa kecil Luyu dibesarkan dalam lingkungan religi bersama pendeta agama Zen Budha. Ini yang memberi pengaruh besar terhadap Tuli san Luyu. Dalam, tata cara menyiapkan teh Luyu menempatkan tata cara tersebut setara dengan upacara keagamaan. Semua peralatan harus disesuaikan dengan situasi, benda yang ada dalam ruang the harus memiliki arti dan nilai kebaikan bagi setiap pribadi hadir. Tulisan Luyu ini yang kelak malah lebih banyak dibaca oleh orang Jepang, hingga kemudian dikembangkanlah sebuah budaya minum teh yang memiliki nilai filosofis tersendiri.
Pada sekitar tahun 1191 Masehi, Eisai seorang pendeta Zen Budha yang belajar agama di China pulang membawa serta tradisi minum teh terutama tehnikan pembautan powder tea. Ajaran tersebut berkembang menjadi sebuah ceremony yang memiliki nilai-nilai filosofi yang disebut sebagai Chado yang artinya jalan hidup teh. Adalah Seni Rikyu yang mengajarkan 4 pilar dasar philosophy dalam Chado, yaitu WA KEI SEI dan JAKU. Wa yang bermakna keselarasan, rasa hormat, ketulusan dan ketenangan.
Blog: http://kedai-teh-laresolo.blogspot.co.id/
Twitter: https://twitter.com/laresolo
Facebook: https://www.facebook.com/Kedai-Teh-Laresolo-127961013906307/
Sumber Penulisan:
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.