Anak desa yang hanya lulusan SMA tanpa keahlian. Namun tidak membuatnya terkungkung pada keputusasaan. Di tahun 1993, pria yang bernama Pak Tri Sumono nekat merantau ke Jakarta dengan mengikuti pamannya. Meski hanya berbekal kaus, tas ransel, serta ijazah SMA yang baru ia peroleh.
Sesampainya di kota metropolitan, dia mencari pekerjaan apa saja tanpa pilah pilih. Selama 6 bulan mengais rezeki sebagai kuli bangunan di Ciledug, Jakarta Selatan. Selang beberapa bulan berganti profesi menjadi tukang sapu pada Kantor Kompas Gramedia yang terletak di Pal Merah, Jakarta Barat. Jelasnya kepada Harian Kompas (13/02/2012), "Pekerjaan sebagai tukang sapu lebih mudah ketimbang jadi buruh bangunan."
Jalan hidup yang lebih baik mulai berdetak ketika tanggung jawab sebagai office boy disandangnya. Meninggalkan pekerjaan tukang sapu untuk melangkah tegap guna memiliki karir sebagai staf pada bagian pemasaran dan pengawas gudang, berkat keuletannya dalam hal bekerja. Namun saya disayangkan, gajinya per bulan saat itu hanya Rp. 250 ribu, sedangkan membayar uang sewa kontrakan sudah Rp. 200 ribu sendiri. Jadi per bulannya, dia hanya memiliki uang sisa sebesar Rp. 50 ribu.
Belum lagi, sisa uang tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan Pak Tri bersama isterinya, Ibu Sukamti yang sudah menjadi pacarnya sejak SMP kelas 1, dan anak pertamanya, Mbak Dewi Puspitasari. Pria asal Gunung Kidul, Yogyakarta mulai berpikir tentang bagaimana melepaskan belenggu masalah yang keluarganya hadapi melalui kegiatan jual-beli jepit rambut dan kalung di stadion gelora senayan.
Karena masalah keuangan yang terlalu berat, mereka lantas melakukan nazar untuk tidak mengkonsumsi nasi sebelum omzetnya mencapai Rp. 300 ribu dalam waktu 1 bulan. Tapi pada suatu hari komitmen tersebut harus dilanggar. Kira-kira jam 11 siang, isterinya menangis. Di minta dibelikan bubur. Sang suami menolak, karena saat itu baru terkumpul Rp. 150 ribu. Mendengar penolakan tersebut, isterinya menangis tambah kencang. Kemudian dibelikanlah bubur sesuai permintaan wanita yang dicintainya. Nah, setelah jam 12 siang, omzetnya langsung naik menjadi Rp. 700 ribu.
Belum lagi masalah lain saat putrinya berusia 2 bulan dinyatakan oleh dokter memiliki gizi yang buruk. "Peristiwa ini membuat saya sebagai kepala keluarga merasa tertampar dan sadar bahwa saya harus berjuang untuk kehidupan yang layak," urainya tentang perasaannya saat itu, Harian Kontan (30/03/2015). Sejak saat itu, ia jualan apa saja tanpa neko-neko. Ia cuman memiliki 4 modal, yaitu Pertama adalah kemauan, yang keDua adalah keberanian, yang keTiga adalah komitmen, dan yang keEmpat adalah doa.
Terus dan terus berkembang. Mimpi anak desa yang berusaha menaklukan Jakarta. Dia tak mau berjalan hanya dengan 1 usaha saja. Karena menurutnya, banyak usaha berarti makin banyak pendapatan nya. Beruntung, semua rejeki datang atas kehendak yang maha kuasa. Pada periode berjalan, modal usahanya semakin tampak lebih baik.
Semangat dan Kemauan.
Hal yang membuat pria kelahiran 7 Mei 1973 untuk selekasnya berhenti dari pekerjaan di PT Gramedia. Terkejut memang !! Sebab berkat laba dari hasil penjualan selama 2 tahun di Senayan, Pak Tri mampu membeli sebuah kios di Cijantung. Bisnis aksesorisnya pun terus mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Semuanya disusun secara rapi guna menarik daya beli konsumen. Hingga suatu saat ada seseorang yang berniat membeli kios lengkap beserta kulakannya dengan harga menggiurkan di tahun 1999. Maka dijual lah kios tersebut dan dari dana yang terkumpul, ia pergunakan untuk membeli sebuah rumah di Pondok Ungu, Bekasi Utara.
Kembali tantangan baru timbul. Saat itu, jiwa dagangnya mengajak dia untuk menyelesaikan problema akan sepinya pasar. Langkah pertama yang dilakukan adalah merubah mind set (pola pikir) konsumen terhadap tanah miliknya. Kemudian rumahnya digunakan sebagai tempat kontrakan dengan harga sewa sangat murah bagi para pedagang setempat, seperti penjaja nasi goreng, penjual siomay, bakso, dsb. Dan tepat keputusannya tersebut. Berkat promosi dari mulut ke mulut, toko sembako yang ia dirikan sejak awal semakin laris dikunjungi.
Berhasil sudah kinerja usaha yang ke dua ini, ia kemudian melanjutkan derap langkah sejarah bisnisnya pada tahun 2006 pada segmentasi jual-beli produk minuman sari kelapa. Sejumlah 200 nampan sari kelapa merek, Nata De Coco ditawarkan ke beberapa perusahaan dan mereka berminat. Namun semua itu tidak berjalan mulus, lantaran kualitas sari kelapa produknya mengalami penurunan. Pikir punya pikir, lantas ia mencoba untuk menghubungi seorang guru IPB (Institut Pertanian Bogor) yang ahli di bidang ilmu kelapa.
Awalnya sang Dosen menolak untuk mengajarkan. Sebab menurutnya, Pak Tri akan mengalami kesulitan saat memahami bahasa ilmiah dalam proses pembuatan sari kelapa. "Tanpa sekolah, kamu akan sulit menjadi produsen sari kelapa," ujarnya saat itu. Setelah dicecar dengan ribuan pengharapan, sang dosen akhirnya bersedia. Maka jadilah jadwal les privat selama 2 bulan pada setiap hari Sabtu dan Minggu.
Hasil uji coba yang lumayan memuaskan setelah menyelesaikan masa pendidikan. Ia pun selekasnya mengalokasikan produksi sebanyak 10.000 nampan. Sari kelapa olahannya disalurkan ke banyak perusahaan minuman di kawasan JaBoTabek. Langsung saja catatan angka kisaran 28 juta rupiah adalah omzet Nata De Coco per bulan atau Rp. 7 juta per minggu. Warnanya putih dan bertekstur kenyal, makanan yang sangat cocok sebagai hidangan penutup. Adapun Nata De Coco berasal dari bahasa Spanyol yang artinya, "Krim Kelapa."
Berkesinambungan dalam hal Menangkap Peluang.
Walau sukses, jadwal berbagai undangan pameran tetap diikuti. Namun ada yang unik kali ini. Entah dari mana ide tersebut, ia menghabiskan dana sebanyak Rp. 100 ribu guna mencetak ragam kartu nama baru untuk 5 jenis usaha dan tiap kartu terpampang jabatannya sebagai direktur. Alasannya untuk mengamati daya tangkap pasar terhadap penampilan manajemen usahanya, CV 3 Jaya. Jelasnya kemudian, "Justru gara-gara kartu nama itu, saya dihubungi oleh perusahaan besar untuk menyediakan ATK (Alat Tulis Kantor) di kantornya."
Seiring berjalannya waktu, keberuntungan kembali datang. Salah satu perusahaan pelanggan Nata De Coco memberikan proyek yang lumayan besar. Tanpa pikir panjang, tawaran kerja membuat 3 juta kemasan untuk produk minuman susu langsung diambilnya. Saking kolega nya percaya akan kinerja CV 3 Jaya, mereka bersedia memberikan down payment sebesar Rp. 1 Milyar dari total keseluruhan kontrak Rp. 2 Milyar. Dana awal tersebut dipergunakan untuk mengurus berbagai izin yang dibutuhkan oleh jasa pendirian usaha hingga pembelian komponen peralatan.
Terhitungan sejak memperoleh proyek pengemasan yang berakhir di tahun 2009, Pak Tri Sumono, 3, suah mempersiapkan rancangan strategi selanjutnya dalam menempuh finally businesss untuk masa depan. Pilihan akan usaha baru yang sejenis pun sudah ia tentukan, yakni memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya yang sudah dimiliki untuk memproduk Hootri.
Pilihan yang disebabkan oleh kebosanan para penikmat kopi hitam dan kopi susu. Menjadikan Hootri lebih mengutamakan racikannya pada penggabungan kopi dengan jahe. Rasanya nikmat, mantap, dan menghangatkan. Keunggulan yang serta merta tidak membuat ia gegabah saat menjalankan strategi pemasaran dari Hootri. Prioritas pasar untuk Pulau Jawa dan DKI Jakarta sama sekali ditinggalkannya. Semua pendistribusian lebih mengarah kepada ragam kelas konsumen di pelosok-pelosok daerah, seperti Sumatera, Maluku, dan Kalimantan, serta Malaysia dan Singapura untuk pasar luar negeri. Dan Benar keputusan tersebut. Saat tahun 2012 berjalan, CV 3 Jaya telah mampu memperoleh omzet per bulan sebesar Rp. 400 juta. Padahal jumlah produksinya hanya sekitar 1.000 karton untuk tiap bulan dengan harga jual Rp. 75 ribu yang berisi 120 kemasan.
Enggak berhenti di situ saja. Setelah strategi awal telah dikuasai, ia pun menerbitkan Hootri untuk kategori kopi susu dan kopi hitam, serta minuman kesehatan berbahan beras merah. Tidak disangka, tumbuhan beras merah yang bernama latin oryza nivara menjadi pemasok laba terbanyak bagi usahanya hingga sekarang. Dari produk ini saja, omzetnya telah mencapai 900 juta per bulan dengan jumlah produksi 2.000 s/d 2.500 kotak.
Sifat gigih yang selama ini dipergunakan, serta juga jiwa yang tangguh. Hal tersebut menuntun Pria kelahiran Gunung Kidul tak perlu bingung lagi guna mengembangkan usaha yang dimiliki. Keuletan dan kepandaiannya menangkap peluang menjadi daftar usaha semakin banyak. "Usaha saya ada beberapa. Kopi Jahe, Sari Beras Merah, jasa pengemasan, pengadaan ATK, kontrakan, sembako, service untuk perbaikan mesin-mesin cetak, pertanian, property, sama peternakan Mas," ujarnya pada suatu sesi acara TV, Hitam Putih. Lantas Pak Deddy Corbuzier bertanya tentang perihal total pendapatan, jawabnya, "Omzet per bulan kira-kira 1 Milyar lebih dikit. Ya lebih dari 500 kan sedikit."
Sumber penulisan:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/08/13/07414765/dulu.tukang.sapu.kini.tri.pengusaha.sukses
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.