Berkat Sejarah Bambu: Pak Adang Muhidin, 42, Mau Bekerjasama dengan
para GEMBEL |
Ekspresi diri yang bertanggung jawab seakan terlihat gagah dan mewah ketimbang kenyataan catatan yang pernah ditoreh oleh manfaat bambu pada sejarahnya di Masyarakat. Anda benar kawan! Tumbuhan bambu memiliki prioritas arti yang dikhususkan bagi kemiskinan, harga jualnya pun tidak pernah mahal, dan lebih parah lagi, bambu sering memilih posisi hidupnya untuk tumbuh berkembang di sekitar pinggiran selokan pada desa-desa kumuh.
Hingga suatu saat si Bambu berusaha memberikan kegunaan yang lebih baik bagi kegiatan para petani. Maka dijadikanlah bambu sebagai pipa saluran air untuk mengairi sawah mereka. Prospek cerah pun selekasnya mengilhami Pak Adang saat ia masih menempuh pendidikan S2 di Universitas Fachochshule Suedwestfalen Iserlohn, Jerman sejak 1998 untuk bidang tekhnik logam. Ujarnya kepada Harian Sindo News (18/01/2015), “Awalnya saya melihat di Indonesia harga bambu murah. Harga ini jauh sekali dibandingkan pada saat saya berada di Jerman.”
Meraih Gelar S2 di Jerman.
Setelah meraih gelar S2 (Master), Kang Adang muda sempat menimba pengalaman kerja di Kota Leverkusen pada bagian research and development untuk perusahaan Kronos Internasional GMBH. Kemudian, ia memilih pulang kampung pada tahun 2005 dan diterima sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Tentu result tersebut merupakan cita-cita yang sangat diharapkan oleh para lulusan di dunia pendidikan.
Namun semua itu harus berubah demikian singkat setelah ia berbincang-bincang dengan seorang pedagang kursi bambu. “Saya miris dan terenyuh melihat usaha membuat kursi bambu yang rumit tapi dihargai cuma segitu,” jelas pria kelahiran 21 Februari 1974 kepada Harian Kontan (15/02/2013), saat mengetahui harga jual kursinya hanya sebesar Rp. 27 ribu. Kebetulan patokan harga jual tersebut berasal dari pembelian bahan asli bambu Rp. 10 – 16 ribu dengan periode masa tanam 2 hingga 3 tahun.
Read more:
Pak Adang Muhidin, Universitas Fachhochschule Sudwestfalen, dan Alat Musik Bambu
Nekat kiranya pada 6 tahun kemudian, Pak Adang merelakan untuk keluar dari pekerjaannya. Kebetulan juga hal tersebut dipengaruhi oleh pertemuannya pada tahun 2010 di Saparua dengan seorang mantan lulusan STM Negeri Bogor, namanya Abah Yudi Rahmat. Pria yang saat ini berusia 64 tahun adalah seorang seniman yang cukup terkenal di daerahnya yang kesehariannya sejak 1979 acapkali memproduksi jenis alat musik violin berbahan dasar bambu. Saat itu juga, mereka sepakat untuk mendirikan IBC (Indonesia Bamboo Community) pada 30 April 2011.
Prihatin melihat tanaman simbol perjuangan dalam mengusir penjajah harus terpinggirkan oleh perubahan. IBC semakin semangat memberdayakan tanaman bambu untuk naik kasta melalui berbagai ide dan kreasinya. Upaya tersebut bisa dikatakan cukup sesuai dengan harapan agar nilai ekonomi bambu juga turut terdongkrak, tambahnya, “Sehingga kami berharap bambu bisa menjadi simbol kemapanan.”
Menetralisir Artikulasi Bambu yang sempat terpuruk di perjalanan Sejarah.
Bagi IBC, ini semua bukan hanya sekedar teori semata. Mereka berusaha membuktikan dengan berbagai pengalaman yang dimiliki untuk lebih memprioritaskan kinerjanya guna menghasilkan berbagai alat musik dari bambu. Saking serius menggarap potensi bambu, tak disangka secara keuangan, mereka harus kehabisan modal karena tidak berhenti mencoba melakukan penelitian sejak bulan April 2011 hingga September 2011.
Tak patah arang, barang bekas pun jadi. Yakni, bambu-bambu yang biasa ditemukan di pinggir jalan, mereka jadikan sumber daya penelitian karena memang sudah tidak memiliki uang tersisa. Usut punya usut setelah semuanya selesai, ternyata kesalahan yang terjadi lebih menitikberatkan pada kurangnya kinerja akan promosi dan sayangnya lagi, ide mereka saat itu dapat dikatakan sangat baru bagi umumnya masyarakat. Bahkan tidak sedikit aktivitas penelitian tersebut seringkali menimbulkan pertanyaan dari pemberi dana: Apakah alat musik berbahan bambu bisa menghasilkan kualitas suara yang dapat diharapkan ??
Lalu bagaimana mereka menjawab permasalahan tersebut pada waktu itu ???? Pernahkan kita berpikir bahwa dengan tanggung jawab dan persoalan yang kita hadapi, Tuhan sedang memproses kita untuk menjadi lebih indah dihadapannya. Sama seperti percobaan pada batang bambu, mereka sedang ditempa. Tapi jangan kuatir, mereka pasti kuat karena Tuhan takkan memberi beban yang tak mampu kita pikul. Hingga saatnya, kira-kira pada tanggal 23 September 2011, sebuah grup musik, bernama “Bragas” akhirnya terbentuk dan keberadaannya sangat berguna untuk menetralisir semua kelelahan mental maupun spiritual yang sempat mereka alami pada bulan-bulan sebelumnya.
Uniknya! Komunitas tersebut beranggotakan warga yang senantiasa mengisi kesehariannya untuk menghibur masyarakat di sekitar Jl. Braga, Bandung. Sebut saja: para pengamen jalanan, tukang parkir, pedagang asongan, para gembel, anak muda pengangguran dan orang-orang yang biasa mencari nafkah disekitar jalan tersebut. Mereka bersedia bergabung guna melantunkan alat musik seadanya. Setelah sering melakukan latihan, grup Bragas memberanikan diri untuk mengikuti ajang 3 hari yang diselenggarakan oleh Braga Festival pada 23-25 September 2011. Festival yang sempat dibuka oleh Wali Kota, Dada Rosada terselenggara secara rutin untuk merayakan hari jadi Kota Bandung. Pada 1 tahun berikutnya, Braga Festival 2012 berkembang lebih baik setelah mempriotaskan pagelarannya untuk hubungan internasional dengan mengundang Sister City Kota Bandung, yaitu, Liuzhou, Yingkau (RRC), Braunschweig (Jerman), Suwon (Korea Selatan), dan Hamamatsu (Jepang).
Fungsi dan Manfaat Bambu dari IBC untuk Masyarakat BUMI (Buku Manusia).
Terjawab sudah jawaban yang diharapkan oleh IBC walau pada awalnya mereka hanya melakukan aksi panggung pada beberapa wilayah di Jawa Barat. Semakin sering menerima undangan pertunjukan, dari situ juga, masyarakat semakin memfavoritkan kegiatan mereka. Hasil keuntungan yang bisa dibawa pulang pun TIDAK diarahkan untuk nilai-nilai yang bersifat EGOISME. Semua pendapatan dipergunakan untuk kegiatan IBC yang tidak mengutamakan keuntungan.
Lebih baik dan IBC mampu tumbuh berkembang bersama keterbatasan yang dimiliki oleh sejarah masyarakat. Tentu pengalaman awal akan pembentukan grup musik Bragas membuat IBC tidak pernah lari dari komitmen yang telah terbentuk. Hari demi hari terus berlanjut, semakin banyak pula hasil positif yang telah mereka toreh untuk masyarakat tak mampu. Sebut saja daerah Pagarsih, Bandung yang dulunya wilayah tongkrongan terfavorit bagi anak muda pengangguran. Kini setelah IBC berperan, banyak dari mereka telah terlepas dari kebiasaan masa lampau dan saat ini, mereka begitu giat memberikan peran positif bagi persiapan produk IBC untuk di ekspor ke luar negeri.
Misalnya, ranting bambu bisa dikaryakan menjadi souvenir cantik berbentuk angklung, sisa-sisa serpihan bambu bisa dimanfaatkan sebagai kerajinan, daun bambu bisa dipergunakan menjadi kanvas untuk melukis dan bahan untuk membuat kraf, bahkan akar bambu bisa disulap menjadi berbagai ragam patung yang indah. Tidak terlupa akan khasiat bambu untuk kesehatan. Daun bambu bisa diperunakan untuk menjaga kesehatan organ limpa, menurunkan kolestorol darah, meningkatkan kinerja organ hati, mengobati asma, mencegah dehidrasi, dsb. Rebung atau tunas dari akar bambu yang masih muda bisa dipergunakan untuk melarutkan kolestorol yang berbahaya dalam tubuh, melawan racun, menurunkan berat badan, menurunkan kalori, dan banyak lagi.
Hasil Karya dikhususkan untuk Ekspor ke 12 Negara dan 3 Benua.
Sangat beruntung sekali bagi mereka yang telah memiliki keterampilan dalam bidang seni kayu. Adapun pembuatan biola, Pak Adang tidak menggunakan bahan kayu untuk bentuk utama nya dan dia lebih memilih untuk menggunakan 3 jenis bambu dalam pembuatan 1 biola, yakni: gombong atau betung, hitam atau haur, dan tali. Bambu yang banyak hidup di kawasan Indonesia ini dipilih lantaran memiliki tekstur yang baik dan kuat.
Bambu haur digunakan sebagai bantalan dawai dan leher biola, bambu tali diperuntukan bagi pembuatan badan biola, serta bambu betung digunakan untuk menhasilkan bahan dasar tabung biola. Pastinya hasil yang telah terbentuk tak kalah merdu dibandingkan biola berbahan kayu, bahkan buatan Tiongkok maupun Eropa. Hasil karyanya pun senantiasa habis diborong, padahal semua hasil karya sengaja tidak di cat agar kesan bambu terlihat begitu alami.
Jelas wakil ketua IBC, Pak Apid Fadilah kepada Harian Tempo (27/12/2016), “Uniknya, warna instrumen seiring waktu berubah secara alami dari putih kekuningan menjadi cokelat muda.” Mengenai kualitas suara yang dihasilkan pun tidak kalah, seraya ia menambahkan, “Pemakainya bilang kelebihan instrumen bambu ini suaranya lebih garing dan nadanya agak berbeda dengan kayu.”
Pak Adang Muhidin mematok harga bervariasi untuk setiap produk yang dihasilkan. Menurutnya, dengan harga Rp. 1 juta, pembeli sudah mendapatkan 1 drum berbahan bambu. Biola bersuara aduhai dengan harga Rp. 1,5 – 4 juta, Gitar mulai harga Rp. 7 juta serta drum 1 set dihargai Rp. 15 juta dengan masa pembuatan selama 3 minggu. Uniknya, 14 jenis alat musik yang telah dihasilkan, seperti: saxophone bambu, flute bambu, terompet bambu, seruling bambu, bass bambu, piano bambu, clarinet bambu, perkusi bambu, dan kecapi bambu. Semuanya diperuntukan bagi 90% konsumen di luar negeri. Pangsa pasarnya terhitung sejak tahun 2015 telah tersebar ke 12 negara dan 3 benua, yaitu: Singapura, Taiwan, Filipina, Malaysia, India, Korea, dan Jepang untuk benua Asia. Rumania, Perancis, Belgia dan Inggris untuk benua Eropa. Serta Amerika Serikat untuk benua Amerika.
Facebook: https://www.facebook.com/bambusall
https://www.facebook.com/bambuindonesia
Alamat: Jl. Melong Asih No.21, Melong, Cimahi Sel., Kota Cimahi, Jawa Barat 40534
No comments:
Post a Comment
Waktu begitu cepat berlalu mengiring langkah dalam cerita. Terbayang selalu tatapanmu dalam lingkaran pemikiran positif ku. Para pembaca blog Warga Desa (https://warga-desa-worlds.blogspot.com) adalah teman yang terindah. Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan komentar.