Buah jenis ini memiliki kulit yang mirip dengan sisik ular. Pelepah, tangkai, serta daunnya pun mengandung duri. Dan perlu juga anda ketahui, buah salak tidak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh ibu-ibu yang sedang hamil, karena dapat mempengaruhi kesehatan mereka. Terutama saat melakukan kegiatan buang air besar.
Persepsi yang berkembang kemungkinan akan berubah sebanyak 360 derajat bila anda datang ke perkebunan salak di Kelurahan Bangun Kerto, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta. Sungguh sebuah suasana indah dan unik, sarat akan nilai, serta makna, menuturkan otentifikasi perilaku sebenarnya dari hasil pengolahan pada sektor perkebunan oleh para petani.
Selain memiliki bentuk yang unik dengan rasa nya yang manis, sebagian ada juga yang asam dan sepat, perawatan untuk pohon salak pun tidaklah sulit. Hanya saja butuh ketekunan dan kesabaran untuk merawat dan membersihkannya, termasuk menjaga pelepah jangan sampai rimbun atau rimbun mengumpul tidak lebih dari 10 buah. Sebab jika dibiarkan akan menghambat produksi buah.
Luasnya kira-kira 27 hektar dengan jumlah produksi per bulan sekitar 950 ton. Usaha perkebunan salak telah ditekuni oleh masyarakat desa Bangun Kerto sejak tahun 1976 berguna untuk menghidupi keluarga dan anak mereka. Kira-kira di tahun 1989, desa ini telah menjadi desa wisata. Tercatat sekitar 17 jenis salak terdapat di desa Bangun Kerto; salak madu, salak gula pasir, salak gading, salak pondoh, salak klinting, salak manggala, dan sebagainya. Anda pun bisa leluasa mengunjungi tempat ini setiap hari mulai pukul 08.00 – 16.00 WIB.
Keperdulian pada Kesehatan Masyarat dan Alam (MA).
Hingga suatu hari, pria yang saat itu masih berstatus mahasiswa di Universitas Gajah Mada untuk Fakultas MIPA hanya ingin mengisi waktu luangnya disana setelah berjibaku setiap hari dengan mata pelajaran. Ia lantas sempat terkagum akan melimpahnya pasokan buah salak di desa Bangunkerto.
Pasokan salak yang kian banyak dari waktu ke waktu ternyata telah menimbulkan suatu masalah. Banyak buah salak yang busuk dan menjadi limbah karena tidak bisa diserap oleh pasar. Awalnya, limbah dibiarkan menumpuk saja di lahannya, serta limbah yang sudah kering sering dimanfaatkan sebagai pengganti kayu bakar dan kompos (pupuk).
Namun tetap saja, pemakaian salak rusak sebagai pengganti kayu bakar dan pupuk, tak sebanding dengan jumlah sampah salak yang terus dihasilkan. Tumpukan tersebut senantiasa memakan banyak tempat. Dari situlah terbersit sebuah ide dari Pak Dita Adi Saputra, 28, untuk mengentaskan permasalahan yang ada melalui perencanaan akan pengolahan limbah salak menjadi bahan bakar Etanol.
Di tahun 2009, ia bersama organisasi sosial, Fruitanol Energy serta juga, “Tim Mahasiswa dibawah bimbingan Prof Karna Wijaya, dosen Kimia FMIPA UGM.” tulisnya di Facebook (30/10/2016). Langsung saja menghadirkan berbagai peralatan yang dibutuhkan, merakitnya, hingga mempersiapkan rencana untuk membangun desa energi mandiri dengan persentase minimal 60% dari kebutuhan energi bisa dipenuhi sendiri oleh aktivitas pada desa tersebut. Adapun sistem kerja penciptaan bioetanol salak diterapkan secara tradisional.
Peralatan yang dibutuhkan sangatlah sederhana dan mudah diperoleh dari sekitar kebun. Alat-alat yang dipersiapkan antara lain (Penjelasan mengenai proses pembuatan akan diurai pada keterangan di bawah) :
Berawal dari sekedar traveling, Pak Dita Adi Saputra berhasil membangun Desa Bangunkerto menjadi kawasan desa Agrowisata Teknologi. Keberadaan kawasan agro ini mampu mengantarkan petani salak di Desa Bangunkerto untuk hidup dengan kualitas yang memadai.
Pendapatan para petani pun merangkak naik hingga mencapai 80%. Padahal sebelumnya, “Salak yang tidak terjual karena rusak dalam proses panen atau pengangkutan memiliki persentase cukup besar dan belum termanfaatkan secara maksimal,” tutur seorang petani di desa Bangunkerto kepada Harian Trubus Online (30/11/2016).
Tidak terlupa, banyak warga desa disana sudah rajin pula menghormati aturan yang dicanangkan oleh pria kelahiran 20 September 1988. Semenjak adanya program dari Pak Dita Adi Saputra akan peningkatan pada keperdulian lingkungan, terciptalah suatu disiplin dan aturan baru di kebun-kebun tersebut, yakni tak boleh membuang sampah atau limbah salak busuk ke kebun. Kalau mau membuang, terlebih dahulu mereka membuat lubang berukuran 60 cm x 60 cm.
Meraih Penghargaan bersama Mahasiswa UGM lainnya.
Atas hasil temuannya, ia bersama tim bioethanol dinobatkan sebagai juara pada ajang Community Entrepreneur Challenge 2010 dari British Council, juara (ke 3 & favorit) pada Green Tech Competition (GTC) di Institut Teknologi Bandung pada 29 – 30 Maret 2010, dan Bayer Young Enviromental Envoy 2012.
Khusus untuk GTC, solusi yang ia berikan bersama beberapa mahasiswa UGM dari fakultas MIPA untuk tim BioSurya; Pak Dita Adi Saputra, Pak Adi Trimulyo, Pak Muhammad Shidiq, dan Ibu Adhita Sri Prabakusuma. Tim Bioetanol; Pak Daniel Agung, dan Ibu Yulianti Utami, yakni: memproses buah salak melalui cara pemerasan dengan menggunakan pola sederhana yang mengusung fungsi dan manfaat dari bakteri fermentasi baru GB1. Hingga kemudian hasilnya menjadi bioetanol, setelah pengolahan dilakukan di destilator bioetanol.
Adapun jenjang proses kerjanya, pertama, mengumpulkan sampah buah salak dan hanya memprioritaskan pilihan kepada daging salaknya saja. Jadi, biji dan kulitnya tidak dipergunakan. “Dagingnya kemudian dicacah pakai mesin parut,” ujar Pak Daniel, agar mempermudah proses pembuatan bubur salak. Pada bubur itulah, mereka menambahkan 1% urea, 3-5% ragi, dan bakteri fermentasi baru GB1 dari total bahan baku. Larutan tersebut akan mengalami proses fermentasi selama 3-7 hari. Terang Pak Dita Adi Saputra kepada saya, Clenoro Suharto di facebook chatting (30/10/2016), "Bakteri fermentasi tetap pakai Ragi, namun dg ditambah GB 1 proses penguraian menjadi cepat...sehingga bisa menghemat waktu fermentasi..dan fermentasi lebih sempurna...." Tambahnya, "Beda Tim," tapi "Kami sama sama bimbingannya Prof Karna Wijaya.."
Hasil fermentasi itu mereka saring dan memanaskan larutan fermentasi melalui proses destilasi pada suhu 78–81 derajat celcius. Kira-kira proses destilasi memerlukan waktu 2 jam. Penyulingan bertujuan untuk memisahkan etanol dan air. Proses destilasi awal biasanya menghasilkan kadar ethanol maksimal sebesar 50%. Tahap kedua menghasilkan bioethanol berkadar 70%-80%, serta destilasi ketiga menghasilkan kadar di atas 90%.
Setelah itu, olahan salak yang sudah berubah wujudnya menjadi Bioethanol dapat dimanfaatkan menjadi sumber daya untuk proses memasak. Jadi cairan Bioethanol yang telah dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar yang sanggup mendidihkan air 1 (satu) panci berukuran nol derajat menjadi 100 derajat celcius hanya dalam kurun waktu 2 menit.
Eh!. . . Saat suasana penelitian sedang serius-seriusnya, ada seorang petani mengajukan pertanyaan yang agak lucu terdengar. Apakah alkohol tersebut bisa diminum? Lantas Pak Daniel menjawab, “Belum tahu pak, karena ada kandungan ureanya.” Perlu kiranya diketahui juga bahwa 1,5 liter dari jumlah 11 liter bioetanol yang telah dihasilkan merupakan jumlah cairan yang akan digunakan untuk pembakaran 30 ml air. Kapasitas kadar bahan bakar pun dapat ditingkatkan hingga mencapi 80% setelah dilakukannya proses destilasi ulang. . . . . Jadi, kita bisa masak air hanya memerlukan waktu 1 menit doang dong ???? Waduh, jangan diminum Pak Tani.
Lantas setelah itu, tim dari UGM lainnya menawarkan solusi yang lebih cepat akan pengolahan limbah salak untuk menjadi Bio Ethanol. Melalui proses fermentasi atau peragian dengan menggunakan campuran dari cairan Good Bacteria (GB)-1, mereka hanya membutuhkan waktu 3 – 4 hari, atau 2 kali lebih cepat untuk membuat bioethanol dibandingkan tim Bioetanol. Keunggulan proses lainnya, kinerja tim Bio-Surya mampu merubah sisa ampas bubur salak menjadi pupuk butiran (granula). “Kalau bentuknya bubuk, pupuk itu mudah terbawa air waktu hujan. Tapi kalau butiran, bisa lebih tahan di tanah,” tambah Pak Adi Trimulyo.
Facebook: https://www.facebook.com/Fruitanol-Indonesia-197264693647531/
Facebook: https://www.facebook.com/ChemistryTravel/
Blogspot: http://fruitanolenergy.blogspot.co.id/
Telepon: 0812-2692-493
Persepsi yang berkembang kemungkinan akan berubah sebanyak 360 derajat bila anda datang ke perkebunan salak di Kelurahan Bangun Kerto, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta. Sungguh sebuah suasana indah dan unik, sarat akan nilai, serta makna, menuturkan otentifikasi perilaku sebenarnya dari hasil pengolahan pada sektor perkebunan oleh para petani.
Selain memiliki bentuk yang unik dengan rasa nya yang manis, sebagian ada juga yang asam dan sepat, perawatan untuk pohon salak pun tidaklah sulit. Hanya saja butuh ketekunan dan kesabaran untuk merawat dan membersihkannya, termasuk menjaga pelepah jangan sampai rimbun atau rimbun mengumpul tidak lebih dari 10 buah. Sebab jika dibiarkan akan menghambat produksi buah.
Luasnya kira-kira 27 hektar dengan jumlah produksi per bulan sekitar 950 ton. Usaha perkebunan salak telah ditekuni oleh masyarakat desa Bangun Kerto sejak tahun 1976 berguna untuk menghidupi keluarga dan anak mereka. Kira-kira di tahun 1989, desa ini telah menjadi desa wisata. Tercatat sekitar 17 jenis salak terdapat di desa Bangun Kerto; salak madu, salak gula pasir, salak gading, salak pondoh, salak klinting, salak manggala, dan sebagainya. Anda pun bisa leluasa mengunjungi tempat ini setiap hari mulai pukul 08.00 – 16.00 WIB.
Keperdulian pada Kesehatan Masyarat dan Alam (MA).
Hingga suatu hari, pria yang saat itu masih berstatus mahasiswa di Universitas Gajah Mada untuk Fakultas MIPA hanya ingin mengisi waktu luangnya disana setelah berjibaku setiap hari dengan mata pelajaran. Ia lantas sempat terkagum akan melimpahnya pasokan buah salak di desa Bangunkerto.
Pasokan salak yang kian banyak dari waktu ke waktu ternyata telah menimbulkan suatu masalah. Banyak buah salak yang busuk dan menjadi limbah karena tidak bisa diserap oleh pasar. Awalnya, limbah dibiarkan menumpuk saja di lahannya, serta limbah yang sudah kering sering dimanfaatkan sebagai pengganti kayu bakar dan kompos (pupuk).
Namun tetap saja, pemakaian salak rusak sebagai pengganti kayu bakar dan pupuk, tak sebanding dengan jumlah sampah salak yang terus dihasilkan. Tumpukan tersebut senantiasa memakan banyak tempat. Dari situlah terbersit sebuah ide dari Pak Dita Adi Saputra, 28, untuk mengentaskan permasalahan yang ada melalui perencanaan akan pengolahan limbah salak menjadi bahan bakar Etanol.
Di tahun 2009, ia bersama organisasi sosial, Fruitanol Energy serta juga, “Tim Mahasiswa dibawah bimbingan Prof Karna Wijaya, dosen Kimia FMIPA UGM.” tulisnya di Facebook (30/10/2016). Langsung saja menghadirkan berbagai peralatan yang dibutuhkan, merakitnya, hingga mempersiapkan rencana untuk membangun desa energi mandiri dengan persentase minimal 60% dari kebutuhan energi bisa dipenuhi sendiri oleh aktivitas pada desa tersebut. Adapun sistem kerja penciptaan bioetanol salak diterapkan secara tradisional.
Peralatan yang dibutuhkan sangatlah sederhana dan mudah diperoleh dari sekitar kebun. Alat-alat yang dipersiapkan antara lain (Penjelasan mengenai proses pembuatan akan diurai pada keterangan di bawah) :
- Bak atau tangki untuk menampung bahan baku.
- Bak atau tangki untuk proses fermentasi.
- Timbangan kecil untuk mengukur berat komoditi.
- Mesin parut untuk menghancurkan daging buah salak.
- Destilator bioetanol atau mesin penyuling.
- Peralatan pendukung lainnya, seperti: gayung, kain yang berguna untuk memeras cairan secara manual, tongkat kayu untuk mengaduk air di tangki atau bak, dsb.
- Etanol meter.
Berawal dari sekedar traveling, Pak Dita Adi Saputra berhasil membangun Desa Bangunkerto menjadi kawasan desa Agrowisata Teknologi. Keberadaan kawasan agro ini mampu mengantarkan petani salak di Desa Bangunkerto untuk hidup dengan kualitas yang memadai.
Pendapatan para petani pun merangkak naik hingga mencapai 80%. Padahal sebelumnya, “Salak yang tidak terjual karena rusak dalam proses panen atau pengangkutan memiliki persentase cukup besar dan belum termanfaatkan secara maksimal,” tutur seorang petani di desa Bangunkerto kepada Harian Trubus Online (30/11/2016).
Tidak terlupa, banyak warga desa disana sudah rajin pula menghormati aturan yang dicanangkan oleh pria kelahiran 20 September 1988. Semenjak adanya program dari Pak Dita Adi Saputra akan peningkatan pada keperdulian lingkungan, terciptalah suatu disiplin dan aturan baru di kebun-kebun tersebut, yakni tak boleh membuang sampah atau limbah salak busuk ke kebun. Kalau mau membuang, terlebih dahulu mereka membuat lubang berukuran 60 cm x 60 cm.
Meraih Penghargaan bersama Mahasiswa UGM lainnya.
Atas hasil temuannya, ia bersama tim bioethanol dinobatkan sebagai juara pada ajang Community Entrepreneur Challenge 2010 dari British Council, juara (ke 3 & favorit) pada Green Tech Competition (GTC) di Institut Teknologi Bandung pada 29 – 30 Maret 2010, dan Bayer Young Enviromental Envoy 2012.
Khusus untuk GTC, solusi yang ia berikan bersama beberapa mahasiswa UGM dari fakultas MIPA untuk tim BioSurya; Pak Dita Adi Saputra, Pak Adi Trimulyo, Pak Muhammad Shidiq, dan Ibu Adhita Sri Prabakusuma. Tim Bioetanol; Pak Daniel Agung, dan Ibu Yulianti Utami, yakni: memproses buah salak melalui cara pemerasan dengan menggunakan pola sederhana yang mengusung fungsi dan manfaat dari bakteri fermentasi baru GB1. Hingga kemudian hasilnya menjadi bioetanol, setelah pengolahan dilakukan di destilator bioetanol.
Adapun jenjang proses kerjanya, pertama, mengumpulkan sampah buah salak dan hanya memprioritaskan pilihan kepada daging salaknya saja. Jadi, biji dan kulitnya tidak dipergunakan. “Dagingnya kemudian dicacah pakai mesin parut,” ujar Pak Daniel, agar mempermudah proses pembuatan bubur salak. Pada bubur itulah, mereka menambahkan 1% urea, 3-5% ragi, dan bakteri fermentasi baru GB1 dari total bahan baku. Larutan tersebut akan mengalami proses fermentasi selama 3-7 hari. Terang Pak Dita Adi Saputra kepada saya, Clenoro Suharto di facebook chatting (30/10/2016), "Bakteri fermentasi tetap pakai Ragi, namun dg ditambah GB 1 proses penguraian menjadi cepat...sehingga bisa menghemat waktu fermentasi..dan fermentasi lebih sempurna...." Tambahnya, "Beda Tim," tapi "Kami sama sama bimbingannya Prof Karna Wijaya.."
Hasil fermentasi itu mereka saring dan memanaskan larutan fermentasi melalui proses destilasi pada suhu 78–81 derajat celcius. Kira-kira proses destilasi memerlukan waktu 2 jam. Penyulingan bertujuan untuk memisahkan etanol dan air. Proses destilasi awal biasanya menghasilkan kadar ethanol maksimal sebesar 50%. Tahap kedua menghasilkan bioethanol berkadar 70%-80%, serta destilasi ketiga menghasilkan kadar di atas 90%.
Setelah itu, olahan salak yang sudah berubah wujudnya menjadi Bioethanol dapat dimanfaatkan menjadi sumber daya untuk proses memasak. Jadi cairan Bioethanol yang telah dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar yang sanggup mendidihkan air 1 (satu) panci berukuran nol derajat menjadi 100 derajat celcius hanya dalam kurun waktu 2 menit.
Eh!. . . Saat suasana penelitian sedang serius-seriusnya, ada seorang petani mengajukan pertanyaan yang agak lucu terdengar. Apakah alkohol tersebut bisa diminum? Lantas Pak Daniel menjawab, “Belum tahu pak, karena ada kandungan ureanya.” Perlu kiranya diketahui juga bahwa 1,5 liter dari jumlah 11 liter bioetanol yang telah dihasilkan merupakan jumlah cairan yang akan digunakan untuk pembakaran 30 ml air. Kapasitas kadar bahan bakar pun dapat ditingkatkan hingga mencapi 80% setelah dilakukannya proses destilasi ulang. . . . . Jadi, kita bisa masak air hanya memerlukan waktu 1 menit doang dong ???? Waduh, jangan diminum Pak Tani.
Lantas setelah itu, tim dari UGM lainnya menawarkan solusi yang lebih cepat akan pengolahan limbah salak untuk menjadi Bio Ethanol. Melalui proses fermentasi atau peragian dengan menggunakan campuran dari cairan Good Bacteria (GB)-1, mereka hanya membutuhkan waktu 3 – 4 hari, atau 2 kali lebih cepat untuk membuat bioethanol dibandingkan tim Bioetanol. Keunggulan proses lainnya, kinerja tim Bio-Surya mampu merubah sisa ampas bubur salak menjadi pupuk butiran (granula). “Kalau bentuknya bubuk, pupuk itu mudah terbawa air waktu hujan. Tapi kalau butiran, bisa lebih tahan di tanah,” tambah Pak Adi Trimulyo.
Facebook: https://www.facebook.com/Fruitanol-Indonesia-197264693647531/
Facebook: https://www.facebook.com/ChemistryTravel/
Blogspot: http://fruitanolenergy.blogspot.co.id/
Telepon: 0812-2692-493
Sumber Penulisan:
Anda butuh berbagai peralatan tani seperti arit cangkul dll, hubungi kami
ReplyDelete